"Guru itu adalah korban dari target kurikulum dan siswa adalah korban berikutnya," ujar Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbudristek Zulfikri Anas dalam Temu Inovasi Ke-14 di Sesi Breakout 1 di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan guru di sejumlah daerah masih fokus dalam merampungkan target kurikulum. Untuk mencapai target tersebut, guru hanya melihat materi di buku dan menggunakan materi dengan cara yang sama untuk semua anak di satu kelas.
Persoalannya, menurut dia, cara itu belum tentu cocok untuk semua anak yang ada di kelas tersebut.
Ia menemukan kasus ada siswa kelas 10 yang kemampuannya setara dengan siswa kelas 2 SD dalam hal perkalian matematika.
Baca juga: Kampus harus memberikan rasa aman pada civitas akademika
Menurutnya, kasus tersebut karena guru mengajar hanya berdasarkan kurikulum tanpa melihat kemampuan siswa.
"Ketika diminta mengisi soal perkalian, untuk satu dan dua digit masih bisa tapi untuk tiga digit dan seterusnya kesulitan. Setelah dicek lagi, kemampuan siswa kelas 10 itu setara dengan siswa kelas 2 SD. Lalu diambil jalan tengahnya, siswa kelas 10 itu diajarkan sebagaimana layaknya anak kelas 2 SD," kata dia.
Menurutnya, literasi para siswa sebenarnya sudah cukup tinggi. Namun, terkadang kurikulum yang diterapkan membuat literasi mereka seperti jatuh ke titik nol.
Maka dari itu, Zulfikri menilai pendidikan usia dini merupakan yang paling berat karena menjadi fondasi. Seorang guru yang mengajarkan siswa usia dini sebenarnya tidak hanya mengajarkan sang anak tetapi juga orang tuanya.
Baca juga: Kemendikbudristek: perlu kolaborasi untuk cetak generasi berdaya saing
Menurutnya, untuk meningkatkan kemampuan siswa usia dini maka perlu regulasi yang mengikat antara dinas pendidikan dengan sekolah.
Zulfikri menambahkan kurikulum merdeka yang dirancang pemerintah ditujukan untuk bisa diterapkan di semua sekolah seminim apapun.
"Sepanjang ada anak yang mau belajar dan orang dewasa yang mendampingi itu bisa. Jadi sasarannya bukan ubah kurikulum tetapi bagaimana meningkatkan pelayanan kualitas pendidikan kepada peserta didik," kata dia.
Kepala Bidang Sekolah Dasar Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Sumba Tengah, NTT Magdalena Kalli menjelaskan ada kesenjangan pendidikan di Sumba Tengah. Karena itu, Bupati Sumba Tengah mengeluarkan kebijakan 3M itu yaitu membaca, menghitung, dan menulis.
"Kemampuan berhitung siswa di Sumba Tengah itu ternyata baru 30 persen. Karena itu, kami meminta 40 sekolah yang ada di Sumba Tengah untuk segera menjalankan kebijakan 3M. Intinya kami ingin meningkatkan kemampuan siswa," kata dia.
Baca juga: Temu inovasi dorong transformasi dalam pembelajaran
Baca juga: Pemerintah : teknologi di Merdeka Belajar jangkau lebih banyak guru
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022