Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan masih menunggu hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 yang dikelola Kementerian Kesehatan guna memantau perkembangan stunting di Indonesia.

“Kita masih harus menunggu hasil SSGI 2022, berapa penurunan yang dicapai serta apakah on track dengan target yang telah ditetapkan menuju 14 persen pada tahun 2024,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam Forum Nasional Stunting yang diikuti di Jakarta, Selasa.

Ia menuturkan SSGI menjadi salah satu acuan data yang digunakan pemerintah dalam mempercepat penurunan angka prevalensi stunting, selain data dalam Pendataan Keluarga (PK-21).

Melalui SSGI, pemerintah dapat mengetahui capaian dari kinerja, utamanya dalam program percepatan penurunan stunting yang dilakukan selama setahun.

Sebab, katanya, jika dilihat laju penurunan angka prevalensi stunting di Indonesia dari tahun ke tahun tergolong lambat.

“Penurunannya masih tergolong lambat, yaitu di bawah persen persen per tahun. Berdasarkan hasil SSGI tahun 2021 saja, kita berada pada angka 24,4 persen. Makanya saat ini, kita masih menunggu hasil SSGI tahun 2022,” ujarnya.

Baca juga: BKKBN: Penguatan Dashat diimbangi dengan edukasi gizi seimbang

Walaupun mengalami penurunan dari 27,7 persen pada tahun 2019 menjadi 24,4 persen di tahun 2021, Hasto mengimbau agar semua pihak tidak lengah karena stunting di 22 dari 34 provinsi masih memiliki potensi peningkatan secara random.

Pada 12 provinsi prioritas, pemerintah perlu lebih memantau dan memberikan pengawalan dengan baik dan sistematis yang melibatkan secara aktif semua level tim percepatan penurunan stunting (TPPS) hingga desa dan kelurahan.

Pemantauan harus diperkuat karena dalam temuan BKKBN, berjalannya penyediaan data hingga audit kasus stunting masih mengalami beberapa kendala di antaranya tata kelola dan koordinasi dengan pihak terkait di daerah.

Pemetaan keluarga stunting yang dilakukan bersama kementerian/lembaga terkait juga harus lebih dikawal sampai ke tingkat daerah.

“Pemetaan peran ini belum sepenuhnya dapat diimplementasikan atau dikawal sampai ke tingkat daerah. Isu sumber data, ketersediaan data, serta anggaran menjadi sangat krusial di daerah dan desa dan kelurahan,” katanya.

Baca juga: BKKBN nyatakan butuh waktu lama bagi RI untuk alami resesi seks

Dengan waktu yang tersisa kurang dari dua tahun, ia meminta kerja sama pentahelix lebih diperkuat agar target yang ditetapkan bisa tercapai.

“Saya minta manfaatkan seluruh komponen pentahelix secara masif dengan skema konvergensi dan fokus pada intervensi di lapangan. Hingga ke sasaran keluarga berisiko stunting dan balita stunting dibarengi dengan ketersediaan layanan intervensi spesifik dan sensitif,” ucapnya.

Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin menyatakan masalah gizi harus dihapus pada 2030 jika ingin Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaan pada tahun 2045 menjadi negara maju yang memiliki sumber daya manusia unggul dan memiliki daya saing global yang tinggi.

Dibutuhkan kerja keras untuk membangun mutu generasi penerus bangsa yang akan melanjutkan ‘estafet’ kepemimpinan dan pembangunan Indonesia di masa depan.

Ia juga menyatakan Forum Nasional Stunting Tahun 2022 merupakan momentum penting guna melakukan evaluasi, introspeksi, dan refleksi selama menjalankan pendampingan keluarga berisiko stunting di daerah.

Sebab, masih ditemukan sejumlah laporan masalah dalam pemberian pendampingan terpadu yang digencarkan oleh tenaga kesehatan dan tim pendamping keluarga (TPK) di lapangan.

Baca juga: BKKBN: Kerja keras harus dilakukan guna turunkan prevalensi stunting
Baca juga: BKKBN gandeng penyuluh agama di DIY percepat penurunan angka stunting

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022