Kalau tingkat literasi saja rendah belum mampu mencapai pemahaman untuk membaca teks yang lebih kompleks, mereka akan kesulitan di kelas-kelas yang jenjangnya lebih tinggi, yang kompleksitas pembelajaran literasinya lebih membutuhkan kemampuan yang l
Jakarta (ANTARA) -
Peneliti bidang pendidikan Shintia Revina bersama Research on Improving Systems of Education (RISE) mengatakan hanya 31 persen siswa yang mampu mencapai tingkat literasi yang baik pada jenjang pendidikan sekolah dasar (SD).
 
"Kalau tingkat literasi saja rendah belum mampu mencapai pemahaman untuk membaca teks yang lebih kompleks, mereka akan kesulitan di kelas-kelas yang jenjangnya lebih tinggi, yang kompleksitas pembelajaran literasinya lebih membutuhkan kemampuan yang lebih tinggi," katanya dalam diskusi mengenai "Prioritas Kebijakan Pendidikan untuk Atasi Krisis Pembelajaran Indonesia" secara daring di Jakarta, Senin.
 
Padahal, menurutnya, pemahaman literasi yang baik harusnya menjadi modal utama pada siswa dari kelas satu hingga tiga SD untuk naik ke jenjang pembelajaran yang lebih kompleks.
 
Penurunan pembelajaran ini, kata Shintia, berdampak pada siswa yang memiliki performa baik, ketimbang anak yang sejak awal memiliki performa literasi yang rendah. Setelah pandemi COVID-19, siswa dengan performa literasi yang baik cenderung menurun tajam.
 
"Sebelum pandemi krisis pembelajaran sudah cukup parah, setelah pandemi anak-anak yang sudah 'high performance' malah menjadi makin menurun," katanya.

Baca juga: Guru : Pojok literasi mampu tingkatkan minat baca

Baca juga: Mendikbud : literasi dikembangkan melalui pendidikan terintegrasi
 
Ia bersama para peneliti dari Research on Improving Systems of Education (RISE) memberikan masukan untuk mengatasi penurunan pembelajaran siswa dengan meningkatkan literasi dasar dan numerasi.
 
"Jadi yang harus ditingkatkan adalah kemampuan dasar seperti literasi dan numerasi. jadi kalau anak-anak di usia kelas empat belum bisa membaca teks pemahaman atau sebuah teks bagaimana dia bisa mengetahui pengetahuan yang lebih kompleks," katanya.
 
Selain itu, kata dia, pengukuran pembelajaran penting dilakukan secara berkala untuk membantu guru dan siswa memperbaiki kualitas pembelajaran yang sedang berlangsung, bukan di akhir tahun.
 
Tujuannya adalah untuk mengukur dan memberi informasi terkait keberhasilan pembelajaran serta sebagai pembelajaran di sekolah dan orang tua.
 
Ia juga berharap pemerintah bisa menyediakan perangkat tes yang bersifat evaluatif yang bisa diakses oleh guru dan sekolah sehingga tidak selalu harus menunggu perangkat tes dari pusat. Hal ini berguna untuk penilaian kinerja pembelajaran secara lebih luas.
 
"Bukan setiap tahun sekali tapi perangkat tes yang harus bisa memberi informasi dan memberi umpan balik terhadap keberhasilan pembelajaran itu harusnya tersedia dan dapat diakses oleh guru secara berkala," kata peneliti dengan gelar doktor (S3) di bidang pendidikan matematika ini.
 
Ia mengatakan sudah saatnya tujuan pendidikan Indonesia berfokus pada peningkatan kualitas pembelajaran siswa dan bukan hanya tentang kurikulum yang terkadang membuat guru menjadi bingung.
 
"Kalau sudah punya tujuan yang sama nanti kebijakannya pun orientasinya pada siswa, bukan orientasinya pada kepentingan satu atau dua lembaga yang berdampak pada peningkatan kualitas pembelajaran siswa," demikian Shintia Revina.

 
Baca juga: Kemendikbudristek fokus pembangunan literasi jenjang PAUD dan SD

Baca juga: Perpusnas: Literasi harus dikenalkan kepada anak sejak usia dini

Baca juga: Guru melek literasi digital mudah lahirkan inovasi dalam pembelajaran

Baca juga: Unicef beri pelatihan literasi 105 guru di Kabupaten Kupang

Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022