Jakarta (ANTARA) - Hari AIDS Sedunia diperingati setiap 1 Desember. Perlu pendekatan komprehensif yang lintasdisipliner untuk mengatasinya.

Nanoimmunobiotechnomedicine (NiBTM) 5.0 merupakan konstelasi saintifik yang menggabungkan multi-lintasdisipliner antara nanoteknologi, nanomedicine, imunologi, biologi molekuler, bioteknologi, bioinformatika, teknologi terkini berbasis -omics (farmakogenomik, nutrigenomik, multiomik, dsb), kecerdasan buatan (termasuk nanorobotics, machine learning, deep learning, multiverse), kedokteran, kesehatan. Pendekatan NiBTM ini dapat dipakai untuk mengatasi hampir semua problematika kesehatan yang kompleks, termasuk HIV AIDS.

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus penyebab infeksi HIV. HIV merusak sistem imun dengan membunuh sel-sel CD4. Sel-sel CD4 merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh manusia yang berperan melindungi tubuh dari infeksi. Hilangnya sel-sel CD4 membuat tubuh sulit memerangi infeksi. Adapun AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) adalah stadium akhir dari infeksi HIV.


Sejarah dan epidemiologi


Historiografi HIV AIDS bermula dari laporan New York Times tertanggal 3 Juli 1981 tentang penyakit misterius pada 41 homoseksual. Tahun 1982, istilah AIDS diciptakan. Tahun 1984, Francoise Barre-Sinoussi dan Luc Montaigner menemukan HIV sebagai penyebab AIDS dan kemudian memenangkan Nobel. Tahun 1985, tes untuk skrining donasi darah dikembangkan melalui riset simpanse.

Tahun 1987, AZT (zidovudine) dengan merk dagang Retrovir, dikembangkan pada tikus, menjadi obat pertama yang disetujui untuk tatalaksana AIDS. Tahun 1990, sekitar 8 juta orang terjangkit HIV. Tahun 1996, kombinasi terapi antiretroviral dikembangkan. Tahun 1997, kematian terkait HIV mulai terjadi di negara-negara maju karena terapi kombinasi. Masih di tahun yang sama, sekitar 22 juta orang terindikasi HIV. Tahun 2008, diperkirakan 33,4 juta orang hidup dengan HIV, AIDS membunuh sekitar dua juta jiwa. Tahun 2010, setelah uji pada mencit dan kera, Truvada terbukti mengurangi risiko infeksi HIV. Tahun 2011, terapi antiretrovirus terbukti mengurangi risiko transmisi HIV sebesar 96 persen. Tahun 2012, mayoritas penduduk dunia yang memenuhi kriteria tertentu, berhasil mendapatkan terapi antiretrovirus.

Riono P dan Challacombe SJ (2020) menyebutkan bahwa kasus baru HIV di Indonesia telah meningkat dari 7.000 per tahun pada tahun 2006 menjadi 48.000 per tahun pada tahun 2017. Terlepas dari peningkatan ini, jumlah kasus AIDS yang baru didiagnosis telah menurun dari 12.000 di tahun 2013 menjadi sekitar 9.000 di tahun 2017. Rerata prevalensi HIV di Indonesia adalah 0,41 persen, namun terdapat perbedaan prevalensi sepuluh kali lipat di berbagai daerah dengan prevalensi tertinggi di Papua (5 persen). Perempuan mewakili lebih dari 35 persen infeksi baru per tahun dari total (640.000) penduduk di Indonesia. Lebih dari 50 persen diagnosis HIV ditegakkan ketika pasien telah terjangkiti AIDS.

Tahun 2020, WHO menyebutkan sekitar 37,7 juta penduduk dunia mengidap HIV. Sejumlah 73 persen dari semua orang yang hidup dengan HIV memiliki akses ke terapi antiretroviral. Uniknya, 16 persen dari semua orang yang hidup dengan HIV tidak tahu bahwa mereka positif HIV. Tahun 2021, WHO mengatakan HIV/AIDS telah membunuh sekitar 40,1 juta jiwa dan sekitar 38,4 juta orang terinfeksi HIV secara global.

Strategi sektor kesehatan global 2022-2030 WHO tentang HIV bertujuan untuk mengurangi infeksi HIV dari 1,5 juta pada tahun 2020 menjadi 335.000 pada tahun 2030, dan kematian dari 680.000 di tahun 2020 menjadi kurang dari 240.000 di tahun 2030.

Berdasarkan perspektif epidemiologi molekular, strain HIV-1 diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yakni: M (mayor), N (non-M), dan O (outlier). Kelompok N dan O terbatas pada Kamerun dan negara-negara di sekitarnya.

Kelompok M selanjutnya dikelompokkan menjadi 9 subtipe, yakni: A, B, C, D, F, G, H, J, dan K serta beberapa bentuk rekombinan yang bersirkulasi. Subtipe C di Afrika Selatan menjadi paling dominan secara global. Subtipe A umum dijumpai di Afrika Tengah, Barat, dan Timur. Subtipe B ditemukan di USA dan Eropa Barat. Semua kelompok HIV-1 beserta subtipenya telah dilaporkan di Afrika Tengah.


Manifestasi klinis

Umumnya pasien tidak mengalami gejala apapun. Meskipun demikian, beberapa manifestasi klinis HIV akut dapat berupa demam, menggigil, sakit kepala, berkeringat malam hari, sakit/nyeri di tenggorokan, nyeri/sakit otot, lelah, pembengkakan kelenjar limfe di leher, luka (ulkus) di mulut.

Pada bayi, simtomatologi HIV berupa lesi kulit (umum dijumpai pada Sarkoma Kaposi), ruam kulit, infeksi jamur (di mulut atau bagian tubuh lainnya), molluscum contagiosum (infeksi kulit oleh poxvirus), pembengkakan kelenjar limfe generalisata, berat badan menurun drastis atau severe wasting (khas pada stadium 3), pertumbuhan terhambat (kerdil atau stunted growth), karies gigi, infeksi telinga, herpes zoster.

Gejala HIV kronis (menahun) pada pria berupa: pembengkakan kelenjar susu, luka (ulkus) di area kelamin, disfungsi ereksi, peradangan anus dan rektum, luka di anus.

Pada perempuan, gejala kronis HIV berupa infeksi jamur berulang, penyakit peradangan pelvis, periode menstruasi abnormal, menopause prematur, infertilitas (sulit berketurunan), kehamilan ektopik, osteoporosis (tulang keropos), luka di vagina.

Stadium klinis HIV AIDS dibedakan menjadi empat. Pertama, asimtomatis. Tahapan ini bisa tanpa gejala atau sekadar sakit mirip flu, berlangsung singkat, sekitar 1-6 minggu setelah infeksi HIV. Orang dengan infeksi HIV dapat menularkan ke yang lainnya.

Kedua, gejala ringan. Tahapan ini berlangsung sekitar 10 tahun, dengan gejala ringan, titer virus HIV di darah amat rendah, antibodi terdeteksi di aliran darah. Ketiga, gejala berat (advanced). Tahapan ini ditandai dengan perburukan sistem imun dan mulai muncul infeksi oportunistik. Keempat, gejala AIDS parah (severe). Tahapan ini bercirikan penurunan jumlah sel-sel CD4+T secara cepat. Infeksi oportunistik menjadi parah, kanker mungkin muncul.


Virologi

Struktur virus HIV tersusun atas envelope (selubung permukaan luar HIV), kapsid (inti HIV yang mengandung HIV RNA), HIV RNA (material genetik virus), glikoprotein (spikes protein menempel di envelope HIV), enzim (protein yang membawa virus menjalani siklus kehidupan).

HIV menggunakan mesin sel CD4 untuk berkembang biak dan menyebar ke seluruh tubuh. Proses yang dilakukan dalam tujuh langkah atau tahapan ini disebut siklus hidup HIV.

Siklus kehidupan HIV terdiri atas tujuh stadium, yaitu binding (HIV melekatkan dirinya pada reseptor permukaan sel CD4), fusion (selubung HIV dan membran sel CD4 melakukan fusi atau bergabung dan memperkenankan HIV memasuki sel CD4), reverse transcription (di dalam sel CD4, HIV dilepaskan dan menggunakan enzim HIV bernama reverse transcriptase, untuk mengubah material genetika HIV, dari RNA menjadi DNA, memperkenankan HIV memasuki inti sel CD4 dan dapat berkombinasi dengan material genetik sel (sel DNA), integration (di dalam inti sel CD4, HIV membebaskan enzim integrase.

HIV menggunakan integrase untuk menyatukan DNA virus ke DNA sel CD4), replication (sekali menyatu dengan DNA sel CD4, HIV mulai menggunakan mesin sel-sel CD4 untuk membuat rantai panjang protein HIV. Rantai protein merupakan building blocks untuk pembentukan HIV berikutnya), assembly (protein HIV baru dan RNA HIV berpindah ke permukaan sel dan berkumpul menjadi HIV imatur atau noninfeksius), budding (HIV yang belum matang atau tidak menular yang baru terbentuk mendorong dirinya keluar dari sel CD4 pejamu; HIV baru melepaskan enzim HIV berupa protease; protease memecah rantai protein panjang pada virus yang belum matang, menciptakan virus yang matang alias menular).

Area tubuh utama tempat tinggal virus setelah infeksi, termasuk makrofag, sumsum tulang, kelenjar getah bening, limpa, paru-paru, dan sistem saraf pusat (SSP). Semua itu merupakan “reservoir” HIV di tubuh manusia.

Saat berada di SSP, virus menyebabkan kerusakan saraf yang signifikan menyebabkan demensia terkait HIV. Obat-obatan HIV melindungi sistem kekebalan dengan memblokir HIV pada berbagai tahap siklus hidup HIV. Tanpa pengobatan, infeksi HIV menyebabkan kematian dalam waktu 5 sampai 10 tahun.


Patogenesis


Patogenesis virus meliputi perlekatan awal, penetrasi ke dalam sel inang, pelepasan, transkripsi dan replikasi, infeksi dan perakitan virion, dan pelepasan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan virus untuk memanfaatkan dan mengambil alih mekanisme seluler inang.

Pertama, jumlah virion virus haruslah cukup, sel-sel di tempat infeksi harus permisif, dan sistem pertahanan manusia harus tidak efektif atau tidak ada.

Selanjutnya, struktur virus, virulensi, kecepatan replikasi dan penyebaran semuanya dapat mempengaruhi perjalanan infeksi. Dari sisi lingkungan, suhu, pH, dan kelembaban dapat mempengaruhi penyebaran virus. Dalam hal manusia, ras, jenis kelamin, usia, dan berat inang semuanya telah terbukti berperan dalam keberhasilan virulensi.


Imunologi


Infeksi HIV menyebabkan imunosupresi mendalam yang bertanggung jawab untuk mayoritas gambaran klinis AIDS. Virus merusak sistem kekebalan karena target utamanya adalah limfosit T4, yang merupakan komponen kunci untuk menghasilkan dan mengatur respons kekebalan. Reseptor seluler untuk HIV, membran glikoprotein CD4, ditemukan terutama pada permukaan subpopulasi utama limfosit T ini dan juga pada banyak tipe sel lain seperti seri monosit/makrofag. HIV dapat menghancurkan sel CD4 melalui sitotoksisitas virus secara langsung dan tidak langsung melalui respons inang terhadap sel yang terinfeksi HIV atau sel target gp120. Sel-sel dari garis keturunan (lineage) makrofag umumnya tidak dihancurkan tetapi berfungsi sebagai reservoir virus.

HIV juga menyebabkan gangguan fungsional pada sel T, sel B dan monosit. Virus dapat eksis dalam bentuk laten atau kronis. Mekanisme penghancuran sel, persistensi virus dan konversi menjadi infeksi produktif sedang dipelajari dengan penuh semangat. Faktor inang yang dapat mempengaruhi hasil klinis dan penanda imunologi yang dapat memprediksi perkembangan penyakit HIV saat ini digambarkan. Latensi serologis yang berkepanjangan dapat mengikuti infeksi HIV. Respons imun humoral dan seluler yang protektif terhadap HIV buruk atau tidak berkelanjutan.

Hasil terbaru pada limfosit T sitotoksik spesifik HIV sangat menarik. Sel-sel sitotoksik ini, terutama yang diarahkan ke target gp120, mungkin berkontribusi terhadap kerusakan sel. Ada pertanyaan sentral tentang imunitas, HIV adalah efeknya yang menguntungkan versus merugikan, khususnya terkait dengan pengembangan vaksin AIDS.

Secara umum, karakteristik imunopatogenesis AIDS, berupa abnormalitas limfosit T kuantitatif, abnormalitas fungsional limfosit T, abnormalitas fungsional beragam sel, (termasuk sel-sel natural killer, limfosit B, monosit, atau makrofag), abnormalitas serologis.


Tatalaksana


Pendekatan terbaru HIV menggunakan gamma delta T (γδT)-cells. Sel γδT manusia biasanya diklasifikasikan berdasarkan rantai delta TCR mereka, yang terdiri dari 8 varian. Dalam darah tepi, hingga 90 persen sel γδT mengekspresikan rantai Vδ2. Mayoritas sel Vδ2 berpasangan dengan Vγ9 dan membentuk populasi sel γδT reaktif fosfoantigen yang dipelajari dengan baik.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa sel Vδ1 menunjukkan produksi sitokin proinflamasi yang berkorelasi dengan aktivasi sel T CD8+ atau pembunuhan sel T CD4+ selama infeksi HIV.

Sebaliknya, γδT Vδ2-negatif mendominasi di banyak situs mukosa, termasuk usus. Sel-sel Vδ2-γδT ini cenderung mengekspresikan rantai Vδ1 atau Vδ3, dengan berbagai pasangan rantai Vγ. Sel-sel Vδ1 biasanya, tetapi tidak selalu, membentuk populasi kecil dari kompartemen sel γδT yang bersirkulasi. Uji klinis terapi sel γδT manusia, baik menggunakan ekspansi Vδ2 in vivo atau transfer adopsi sel Vδ2 yang diperluas, telah terbukti aman dan dapat ditoleransi dengan baik.

Penilaian menyeluruh tentang karakteristik sel Vδ1 yang diperluas yang berasal dari donor yang terinfeksi HIV akan diperlukan untuk menentukan dampak patogenik potensial dari sel-sel ini jika dipindahkan secara adopsi.

Menurut Kwee Y, dkk (2021), beberapa antiretroviral untuk terapi HIV telah diklasifikasikan berdasarkan mekanisme molekuler dan profil resistensinya, misalnya: (1) Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), contohnya: Delavirdine, Efavirenz, Nevirapine; (2) Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors (NtRTI), misalnya: Abacavir, Didanosine, Emtricitabine, Lamivudine, Stavudine, Zalcitabine, Zidovudine; (3) protease inhibitors, seperti: Atazanavir, Ritonavir, Lopinavir, Darunavir, Indinavir; (4) integrase inhibitors, misalnya: Raltegravir, Elvitegravir; (5) CCR5 inhibitor, contohnya: Maraviroc, Vicriviroc; (6) Fusion inhibitor, misalnya: Enfuvirtide.

Pengobatan antiretroviral adalah pilihan terbaik untuk penekanan virus jangka panjang dan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Tingkat replikasi virus yang tinggi, rendahnya fidelitas transkripsi reverse, dan kemampuan untuk bergabung kembali merupakan karakteristik virus yang mengarah pada diversitas spesies HIV-1 pada individu yang terinfeksi secara kronis. Variabilitas genetik yang tinggi ini memberikan alasan untuk pemberian pengobatan antiretroviral yang sangat aktif atau highly active antiretroviral treatments (HAART).

HAART melibatkan kombinasi setidaknya tiga obat antiretroviral (ARV), telah digunakan untuk memperpanjang masa hidup pasien yang terinfeksi HIV. HAART telah berperan penting untuk mengurangi angka kematian di negara-negara maju, tetapi di berbagai negara berkembang kondisinya masih parah. Hal ini ditandai dengan jutaan orang terinfeksi penyakit ini. Untuk perbaikan situasi, sistem obat berbasis nanoteknologi telah dieksplorasi untuk terapi HIV. Sistem nano yang digunakan untuk terapi HIV menawarkan beberapa keuntungan unik seperti peningkatan bioavailabilitas, kelarutan air, stabilitas, dan kemampuan penargetan obat ARV.

Nanoteknologi berbasis sistem deliveri nanokarier, seperti: liposom, dendrimer, nanopartikel, misel, polimer, nanovesikel, nanoemulsi menyediakan beragam cara untuk mengantarkan obat ke jaringan tertarget.

​​​​​​​Nanoteknologi dapat meningkatkan terapi antivirus melalui berbagai cara. Pertama, nanopartikel dapat melindungi dan memberikan muatan terapeutik khusus untuk virus atau sel-sel yang terinfeksi dan meningkatkan bioavailabilitas. Kedua, beberapa nanomaterial memiliki sifat virucidal (mampu menginaktivasi virus) yang memungkinkannya untuk mengganggu dan mengubah struktur virus. Ketiga, nanodecoy dapat berinteraksi langsung dengan virus untuk menetralkan infektivitasnya, atau dapat digunakan untuk menyerap sitokin inflamasi dan mengurangi hiperinflamasi.

Pendekatan NiBTM diharapkan dapat segera diaplikasikan melalui jalur geopolitik, regulasi, diplomasi, diseminasi, edukasi, teknologi. Tentunya dengan simplifikasi birokrasi dan administrasi, demi eliminasi HIV AIDS dari muka bumi.

*) dr Dito Anurogo MSc adalah mahasiswa S3 di Taipei Medical University Taiwan, pendidik di Universitas Muhammadiyah Makassar, Wakil Ketua Komisi Kesehatan Ditlika PPI Dunia, penulis Ensiklopedia Penyakit dan Gangguan Kesehatan.

Copyright © ANTARA 2022