Jakarta, 2/5 (ANTARA) – Indonesia akan menjadi lahan subur bagi tenaga kerja asing pada era perdagangan bebas, apabila tidak ada langkah-langkah strategis yang dilakukan untuk menghadapinya, kata Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Moedjiman di Jakarta,Senin.
Kepada wartawan ia menjelaskan, bahwa dalam perdagangan bebas di bidang jasa, baik di forum GATS-WTO., APEC maupun AFAS-ASEAN, telah banyak dibicarakan dan dinegosiasikan kemungkinan dihapuskannya hambatan mobilitas tenaga kerja antar negara anggota (Pasar kerja bebas). Di tingkat AFAS-ASEAN bahkan telah disepakati untuk membuka pasar kerja bebas pada profesi insinyur, arsitek, akuntan, surveyor tanah, perawat dan dokter serta bidang pariwisata.
Profesi-profesi lain akan menyusul dan tingkatnya juga akan semakin ke bawah pada tingkat teknisi, pengawas dan pelaksana. India termasuk negara yang gigih memperjuangkan dibukanya pasar kerja bebas di tingkat menengah dan bawah ini. Gelombang liberalisasi pasar kerja ini akan bergerak semakin lama semakin cepat dan sulit di bendung. Perdagangan bebas di ASEAN ditargetkan tahun 2015 dan untuk GATS-WTO tahun 2020.
Untuk menghadapi gelombang pasar kerja bebas tersebut, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis, terutama yang menyangkut penataan infrastruktur untuk pengembangan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Diantaranya pengembangan standar kompetensi kerja, pengembangan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi, pengembangan sertifikasi kompetensi yang independen dan terpercaya, serta harmonisasi regulasi antar instansi.
Indonesia juga harus segera menyusun ”Grand Strategy ” untuk menghadapi globalisasi pasar kerja tersebut. Setiap forum negosiasi adalah medan pertempuran untuk memenangkan kepentingan. Oleh karena itu, harus ada kejelasan sasaran yang hendak dicapai pada setiap negosiasi di forum. Bidang dan tingkat profesi apa yang harus diperjuangkan agar dibuka dan atau agar tidak dibuka atau ditunda pembukaannya. Semuanya dengan melihat kondisi pasar kerja di Indonesia serta kesiapan infrastruktur pengembangan SDM nya.
Selama ini Indonesia lebih sibuk mengurusi masalah perundingannya daripada penyiapan infrastrukturnya. Seperti misalnya pada bidang-bidang profesi yang sudah disepakati di forum AFAS di atas, bagaimana kondisi pasar kerja di bidang itu? kelebihan atau kekurangan? bagaimana pula kesiapan infrastrukturnya? siap atau belum?. Kesemuanya serba remang-remang, bahkan cenderung gelap. Dalam kondisi seperti itu kita melakukan perundingan dan kesepakatan. Dapat dibayangkan apa dampaknya bila kesepakatan tersebut mulai dilaksanakan.
Selanjutnya Moedjiman mengatakan, kini saatnya, walaupun sebenarnya sudah terlambat, bangsa ini meninggalkan pemikiran ego sektor dan ego daerah. Kini saatnya semua pemangku kepentingan komitmen untuk berbagi pengorbanan, guna membangun kesatuan sistem nasional di di bidang pengembangan kompetensi dan daya saing tenaga kerja indonesia di pasar global. Diantaranya dengan memperkokoh infrastruktur dan kelembagaanya. . Apabila hal ini tidak dilakukan, Indonesia hanya akan menjadi pelengkap penderita dalam globalisasi pasar kerja dan akan menjadi lahan subur bagi tenaga kerja asing.
Keseriusan Singapura, Malaysia dan Filipina dalam negosiasi Mutual Recognition Arrangement di bidang tenaga profesional di forum AFAS, adalah signal bahwa mereka siap menyerbu pasar kerja untuk profesi –profesi tersebut di negara anggota Asean lainnya, termasuk Indonesia. Liberalisasi perdangan dan jasa di ASEAN yang ditargetkan terlaksana tahun 2015 serta WTO tahun 2020, akan berdampak pada liberalisasi pasar kerja, baik melalui moda investasi maupun mobilitas bebas tenaga kerja. Gejalanya sudah semakin tampak, yaitu banyaknya tenaga kerja asing yang bekerja di rumah sakit, pasar swalayan, lembaga pendidikan, jasa keuangan, perhubungan dan telekominikasi, pariwisata, konstruksi dan sebagainya.
Mengakhiri penjelasannya, Moedjiman mengharapkan Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya segera menyusun ” Grand Strategy ” menghadapi globalisasi pasar kerja dan segera melakukan konsolidasi untuk memperkuat infrastruktur pengembangan kualitas SDM berbasis kompetensi. Untuk itu diperlukan komitmen para pemangku kepentingan dari tataran politik, kebijakan, program dan anggaran serta pelaksanaanya.
Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang dibentuk dengan Peraturan Pemerin tah No.23 tahun 2004 atas perintah U.U.No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, akan mengambil peran aktif dalam membangun infrastruktur dimaksud. Terutama pada aspek pengembangan sertifikasi yang independen dan terpercaya. Marilah kita hadapi globalisasi dengan semangat nasionalisme yang rasional. Semoga bangsa Indonesia tidak menjadi bangsa yang merugi di era globalisasi.
(tz/woo1)
Copyright © ANTARA 2006