sebenarnya isu apa di belakang sana yang membuat perempuan tidak datang ke layanan kesehatan atau kenapa perempuan tidak minum obatJakarta (ANTARA) - Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) menyatakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memiliki peran untuk menilik lebih dalam penyebab-penyebab yang membuat pengobatan Orang Dengan HIV (ODHIV) masih rendah di Indonesia.
“Kemenkes punya peran besar untuk menilik lebih dalam, sebenarnya isu apa di belakang sana yang membuat perempuan tidak datang ke layanan kesehatan atau kenapa perempuan tidak minum obat, kenapa mereka sampai lost to follow up,” kata Koordinator Nasional IPPI Ayu Oktriani dalam Peringatan Hari AIDS Sedunia 2022 daring yang diikuti di Jakarta, Kamis.
Ayu menuturkan banyak permasalahan yang perlu digali lebih dalam terkait rendahnya pengobatan bagi pasien HIV. Salah satunya adalah alasan perempuan tidak datang melakukan pengobatan di fasilitas kesehatan sesuai jadwal yang ditentukan.
Ayu membeberkan bahwa terdapat potensi-potensi yang menyebabkan hal tersebut terjadi, misalnya adanya beban ganda pada diri perempuan seperti takut didiskriminasi dan menghadapi efek samping obat.
Bisa juga disebabkan karena masyarakat merasa perempuan lebih berperan secara domestik. Potensi lainnya berupa keterbatasan dana untuk berobat, karena sang anak mungkin juga terjangkit HIV.
Baca juga: Kemenkes perkuat penapisan ibu hamil cegah HIV tulari anak-anak
Baca juga: Pemeriksaan HIV sejak dini penting untuk meningkatkan kualitas hidup
“Hal-hal seperti itu menyebabkan perempuan lag of access, karena memang dia tidak mau akses atau ada potensi tadi dilarang suami atau dia belum buka status sama pasangannya. Jadi potensinya sangat besar, saya pikir ada kecenderungan ke arah sana,” ucap Ayu.
Ayu melanjutkan dari segi akses layanan kesehatan, pemerintah telah memberikannya secara gratis karena dapat menggunakan bantuan BPJS. Namun, penanganan terkait isu sosial masih sulit untuk diselesaikan.
Hal yang patut disoroti adalah perempuan yang terbukti menderita HIV atau IMS, memiliki kecenderungan menjadi korban kekerasan seksual yang jauh lebih tinggi.
“Jadi ini tantangannya adalah bagaimana Kemenkes mau membuka diri untuk membuat sistem di mana mungkin dokter bisa menjadi pembuka untuk melihat potensi kenapa perempuan setiap tanggal sekian tidak pernah datang ke rumah sakit,” katanya.
Dengan demikian, baik pemerintah atau dokter tidak hanya sekadar bertanya pada pasien tapi dapat memberikan tindakan nyata yang mencegah pasien berhenti datang ke fasilitas kesehatan.
Upaya yang dilakukan IPPI sendiri dalam membantu meningkatkan pengobatan ODHIV adalah dengan membuat program mentorship yang dikoordinasikan bersama anggota IPPI yang ada di provinsi, termasuk menjalin kerja sama yang baik dengan dinas pemberdayaan perempuan, UPTD daerah dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Sedangkan dalam waktu dekat, IPPI menyatakan akan meluncurkan hasil dari laporan pengaduan berbasis gender yang dikhususkan pada perempuan dengan HIV agar dapat memetakan lebih jelas situasi dan persoalan HIV di Indonesia.
“Nantinya data yang kami benar temukan, akan membuktikan kebenaran bahwa perempuan yang terkena HIV mendapatkan kekerasan lebih setelah dia terinfeksi HIV. Jadi kita melihat potensinya bisa ke arah sana,” ujar Ayu.
Sebelumnya Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu dalam Peringatan Hari AIDS Sedunia 2022 yang diikuti di Jakarta, Kamis. mengatakan penemuan kasus yang pemerintah sudah lakukan bisa menembus 400 ribu hingga 453 ribu kasus infeksi.
Namun, jumlah orang dengan HIV (ODHIV) yang pernah menerima pengobatan ARV justru hanya mencapai 300 ribu lebih.
Baca juga: Moeldoko ajak masyarakat berani lakukan tes HIV
Baca juga: Kemenkes: Skrining HIV membaik namun pengobatan masih rendah
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2022