Jakarta (ANTARA) - Sosok Anita Gathmir Kaicil begitu bersemangat saat menceritakan perjuangannya menghidupkan kembali kekuatan Kesultanan Tidore melalui tenun.

Bukan tanpa alasan, Anita merupakan bagian dari keturunan Kesultanan Tidore yakni memiliki marga Kaicil yang sama disandang oleh Sultan Nuku, Sri Paduka Maha Tuan Sultan Saidul Jehad el Ma'bus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan Jou Barakati.

Pendiri Rumah Tenun Puta Dino Kayangan, Anita Gathmir saat ditemui, Maluku Utara, Sabtu (26/11/2022). ANTARA/Luthfia Miranda Putri

Sehingga semangatnya kian menggebu melestarikan kain tenun yang hampir tergerus zaman melalui anak-anak muda yang dibinanya.

Pada awalnya, di tahun 2017, ia melihat sebuah foto berwarna hitam putih di Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Tidore Kepulauan yang dokumen aslinya berada di museum yang ada di Leiden, Belanda.

Dari situlah hatinya tergerak untuk membangun kembali tenun Kesultanan Tidore dengan mendirikan Puta Dino Kayangan di tahun yang sama.

“Puta berarti kain, Dino artinya jahit atau susun, dan Kayangan tinggi. Jika ketiga kata itu digabungkan maka Puta Dino Kayangan berarti jahitan atau susunan kain yang manfaatnya tinggi,” kata Anita saat ditemui di Maluku, Rabu.

Kini, nama Puta Dino Kayangan sudah mendunia dengan berhasil tampil di ajang bergengsi yakni New York Indonesia Fashion Week (NYIFW), Konferensi Tingkat Tinggi G-20, Sail Tidore 2022, dan di tahun depan akan melanjutkan Promosi Terpadu Tekstil dan Fesyen Indonesia di Afrika Selatan 2023.

Perjuangan menyebarkan ilmu menenun

Memulai dari nol tentu tak mudah bagi seorang Anita di tahun pertamanya mempelajari dunia tenun.

Namun, seiring berjalannya waktu perjuangannya terbantu oleh Bank Indonesia (BI) yang sejak awal memberikan bantuan berupa pelatihan, fasilitas tempat, dan alat-alat menenun.

Rumah Tenun Puta Dino Kayangan di Tidore, Maluku Utara, Sabtu (26/11/2022). ANTARA/Luthfia Miranda Putri

Pihak Bank Indonesia juga mengumpulkan dan mendatangkan sejumlah guru-guru dari Jepara, Bandung, Majalaya, dan Yogyakarta untuk melatih menenun.

“Jadi anak-anak tenun berusia 16 sampai 27 tahun itu kami bina, mereka bukan cuma tahu tapi paham teknik menenun yang nantinya diajarkan ke anak lainnya, mereka belajar 20 jenis alat tenun yang kita kumpulin karena kita tak ingin berhenti belajar,” tutur Anita.

Adapun pendekatan Anita menyasar kepada anak muda dengan memberikan pemahaman bahwa belajar menenun itu tidaklah sulit dan perlu proses yang bertahap untuk membangun keterampilan mereka.

Menurut Anita, salah satu alat tenun yang paling mudah bernama Inkle Loom dan cara belajar menenun bisa sehari memahami tergantung dari kemampuan setiap individu.

“Kita di sini gratis. Jadi, sekarang anak SMA itu ada 224 anak yang kami ajarkan setiap minggu bergantian ke sini, bahkan kita juga ke rutan ke perempuan dan lelaki untuk menambah keterampilan mereka,” tambahnya.

Selain itu, Anita menceritakan perjuangan lainnya yakni benang berkualitas untuk tenun yang terbilang sulit ditemukan dan masih mengimpor dari India serta Cina.

Meski di daerahnya ada yang memanfaatkan serat nanas dan batang pisang yang dijadikan benang, namun dirinya masih kesulitan mendapatkan barang tersebut.

“Jadi tugas kita buat mempelajarinya, dan tolong bantuannya agar kami bisa mendapatkannya dengan mudah,” harapnya.

Anita menilai kebutuhan benang untuk tenun ini juga bisa menjadi kesempatan pihak lain untuk membuka lapangan pekerjaan sehingga bisa saling menguntungkan.

Anita menambahkan, penjualan yang dikelolanya terbilang bagus dengan sejumlah motif yang laris dijual seperti Barakati yang bermakna "diberkahi", Jodati yaitu "ketulusan hati", Marasante yaitu "keberanian", Tobaru yaitu suku asli Halmahera, Amo yakni "tanaman khas Tidore", dan Kalajengking.

Namun, di sisi lain, pihaknya juga masih kekurangan tenaga kerja dan hanya dibantu oleh guru-guru yang dibinanya demi kelangsungan pelestarian tenun Tidore ini.

“Maka dari itu, kita harus membangun pendekatan ke orang-orang sini untuk mau bekerja sebagai penenun dan itu tidak mudah,” tandasnya.

Wanita berusia 47 tahun ini menjelaskan, seringkali orang lain salah memahami kalau batik dan tenun memiliki teknik yang sama.

“Padahal batik berbeda tekniknya dengan tenun. Batik itu sudah berupa kain yang dikasih motif dengan cara dilukis atau cap, sedangkan tenun tekniknya menyatukan benang satu demi satu membentuk kain. Jadi tingkat kesulitannya sudah terlihat berbeda,” jelasnya.

Keyakinan seorang Anita

Selama perjuangannya melestarikan Tenun Tidore, ia menjualkan kisah dengan menceritakan upayanya membangkitkan kain yang sudah ada sejak 100 tahun lalu, dan dikenalkan kembali ke berbagai acara.

Wanita kelahiran Soa Sio Tidore ini mengatakan tak ambil keuntungan dari penjualannya lantaran diarahkan untuk dikelola anak-anak yang dibinanya. Ia bersama sang suami tidak mengambil keuntungan, karena mereka hanya mendampingi dan hasil penjualan diserahkan kepada anak-anak agar mereka bisa berwirausaha dan memiliki penghasilan.

Ke depannya, Anita menyampaikan harapannya kepada pemerintah untuk lebih mendukung perjuangannya guna mengenalkan kembali Tenun Tidore. “Harapan saya pemerintah daerah lebih peduli karena ini untuk Tidore, Maluku Utara kalau kami sudah sebesar ini sudah mandiri kalau dibantu pemerintah pasti akan lebih kuat lagi,” ujarnya.

Dalam akhir keterangannya, Anita mengajak anak muda yang tertarik untuk mempelajari tenun bisa mendatangi Fola Barakati Food and Art yang berada di Jalan Kramat No.38, Kota Depok, Jawa Barat.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022