Padang (ANTARA) - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumatera Barat, Alni mengatakan tindak pidana pemilu politik uang kerap dianggap sebagai budaya yang wajib dilakukan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) sehingga harus ada upaya agar menekan aksi tersebut.
"Pada setiap pemilu ada anggapan bahwa para calon harus memberikan sesuatu kepada masyarakat agar mereka dapat dipilih dalam pemilu nantinya. Ini menjadi titik rawan dan harus dilakukan edukasi secara berkelanjutan," katanya di Padang, Rabu.
Menurut dia, faktor terjadi politik uang adalah karena adanya keinginan dan jarang ada tindak politik uang sebagai bentuk paksaan namun ada keinginan diberikan barang atau uang sehingga harus ada kesadaran bahwa ini salah dan ini bukan budaya dalam pemilu.
"Ini yang harus dilakukan, bagaimana membentuk kesadaran masyarakat dalam menolak politik uang," kata dia
Selain itu harus ada kerja sama baik antara institusi penegak hukum pidana pemilu yakni pengawas pemilu, kepolisian dan kejaksaan yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Menurut dia, ini harus diperkuat dan jangan sampai sinergi tidak berjalan dengan baik saat mereka bekerja, misalnya terjadi perbedaan persepsi terhadap suatu hal yang jelas-jelas merupakan pelanggaran pemilu.
"Politik uang salah satu indikator Indeks Kerawanan Pemilu yang berkaitan pelanggaran lain seperti kekerasan,kampanye gelap, perbuatan sara dan lainnya," kata dia.
Bawaslu Sumbar terus melakukan upaya dalam mencegah terjadinya tindak pidana politik uang dalam pemilu 2024 sejak jauh-jauh hari.
Menurutnya upaya itu sudah dilakukan sejak saat ini yakni melakukan sosialisasi pengawasan pemilu, pengawasan partisipatif, melakukan penguatan terhadap pengawas pemilu dan lainnya sebagai upaya nyata menekan bentuk pelanggaran pemilu.
"Kita lakukan sosialisasi. bimbingan teknis, rapat koordinasi dengan seluruh pengawas pemilu sehingga ada kesamaan visi dalam melihat sistem pengawasan pemilu nantinya," kata dia.
Ia menjelaskan pelanggaran itu kembali kepada diri masyarakat, partai politik dan peserta pemilu karena berhasil atau tidak akan bergantung pada masing-masing individu.
"Kita Bawaslu terus melakukan upaya pencegahan dan pengawasan terhadap seluruh tahapan yang ada yang dilakukan baik oleh pengawas pemilu maupun partisipatif dari masyarakat yang memberikan laporan maupun informasi," kata dia
Politik uang merupakan tindak pidana yang dapat diberikan sanksi pidana jika itu dilakukan pemilih namun jika yang melakukan peserta pemilu selain diberi sanksi pidana mereka diancam pembatalan sebagai calon.
Sebelumnya Penggiat pemilu Sumatera Barat, Surya Efitrimen menyatakan potensi terjadinya politik uang di Sumatera Barat cukup tinggi sehingga langkah antisipasi harus intensif dilakukan kepada masyarakat agar hal ini tidak terjadi.
“Bawaslu harus lakukan pemetaan indeks kerawanan pemilu yang berkaca pada Pemilu 2019 lalu,” katanya.
Untuk kasus politik uang yang masuk persidangan hingga inkrah di Pemilu 2019 mencapai sembilan kasus diikuti kampanye gelap, kampanye menggunakan fasilitas pemerintah, mencoblos lebih dari satu kali, kampanye di luar jadwal dan orang terlarang ikut dalam kampanye.
Ia merinci dari 17 kasus tersebut hasilnya divonis bersalah 16 kasus dan satu kasus divonis bebas.
Kasus yang divonis bersalah seperti memberikan peserta kampanye memberikan imbalan uang, memberikan imbalan uang kepada pemilih dalam masa tenang, menjanjikan uang sebagai imbalan kepada peserta kampanye, menjanjikan materi sebagai imbalan kepada peserta dan lainnya.
Kasus itu tersebar di 19 kota dan kabupaten, yang terbanyak di Kota Solok sebanyak empat kasus, dua kasus di Kabupaten Tanah Datar dan masing-masing satu kasus di Kota Bukittinggi, Sawahlunto, Kabupaten Limapuluh Kota, Pasaman Barat, Kabupaten Solok, Solok Selatan dan Kabupaten Tanah Datar.
"Dari 17 kasus tersebut 12 kasus merupakan temuan Bawaslu dan tiga kasus laporan dari masyarakat. Ini baru yang tampak dan tentu masih banyak bentuk pelanggaran yang belum masuk penindakan," kata dia.
Pewarta: Mario Sofia Nasution
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2022