Jakarta (ANTARA News) - Kalangan distributor mendesak pemerintah cq Menteri Pertanian merevisi alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi, karena tidak mencerminkan kebutuhan petani yang sesungguhnya sehingga kelangkaan selalu terjadi. Ketua Umum Asosiasi Distributor dan Pengusaha Pupuk Indonesia (ADPPI), Kana Mustafa Sudjana dalam keterangan persnya di Jakarta, Minggu, mengatakan saat ini banyak daerah yang kebutuhan riilnya melebihi alokasi yang ditetapkan Permentan 505 tahun 2006. "Apabila hal ini tidak mendapat perhatian pemerintah maka akan memicu berkembangnya isu kelangkaan pupuk di daerah bersangkutan," katanya. Ia menjelaskan, masalah kurangnya jatah pupuk bersubsidi di banyak daerah terungkap pada sosialisasi aturan pemerintah tentang pupuk bersubsidi di Bandung, Kamis (27/4) lalu yang dihadiri pejabat Depdag, Deptan, pengecer dan KTNA (Kelompok Tani dan Nelayan Andalan), serta kepolisian. Selain itu, katanya, kepala daerah baik bupati maupun gubernur juga telah meminta agar pemerintah pusat cq Deptan menambah alokasi pupuk ke wilayah mereka. "Itu merupakan bukti bahwa alokasi dalam Permentan 505 itu tidak tepat, sehingga perlu direvisi," tambahnya. Dikatakannya, bila alokasi pupuk bersubsidi tidak ditambah dan Permentan tidak direvisi maka dikhawatirkan akan terjadi stagnasi distribusi terutama di daerah yang penyaluran pupuknya sudah memenuhi ketentuan alokasi. "Distributor tidak akan berani menambah penyaluran pupuk, meskipun permintaan dari petani terus datang, bila jatah yang ditentukan sudah terpenuhi semua," katanya. Masalah lain yang juga membebani distributor, menurut Kana Mustafa adalah soal harga eceran tertinggi (HET) yang sudah tidak memadai akibat peningkatan biaya distribusi. Dengan HET Rp1.050 per kilogram, selisih harga penebusan oleh distributor di gudang produsen sudah tidak cukup untuk menutupi ongkos angkut yang naik tajam sejak kenaikan harga BBM tahun lalu. "Akibatnya sering terjadi pupuk terpaksa dijual di atas HET, terutama di daerah yang letaknya jauh dari gudang distributor. Kondisi itu memicu pelanggaran yang pada ujungnya merugikan kepentingan nasional," katanya. Menanggapi pelaksanaan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), ia mengatakan, dalam distribusi pupuk bersubsidi yang penting bukanlah masalah dapat atau tidaknya dilaksanakan RDKK tersebut, tapi bagaimana perencanaan kebutuhan dapat disusun secara akurat. Sedangkan soal Permendag No.03 Tahun 2006 yang mengatur distribusi pupuk bersubsidi, ia menilai, dari segi pertanggungjawaban aturan ini sudah cukup jelas dan adil karena tanggung jawab penyaluran pupuk dilaksanakan secara berjenjang mulai dari produsen, distributor, sampai ke petani. "Namun dari pertemuan sosialisasi Kamis lalu itu para peserta minta agar ada fleksibilitas dalam pelaksanaan rayonisasi distribusi pupuk bersubsidi dan perlu dibuat payung hukum apabila terjadi hal-hal yang tidak ideal seperti penjualan pupuk bersubsidi antar kecamatan atau antar kabupaten," tambahnya.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006