Jakarta (ANTARA) - Rais Syuriah PBNU yang juga Wakil Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah Situbondo Afifuddin Muhajir menyebut penggunaan nilai manfaat dana haji harus didistribusikan secara proporsional, demi kemaslahatan dan keadilan.
"Penentuan BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) harus berdasarkan kemaslahatan dan keadilan dua belah pihak. Tidak merugikan negara dan tidak merugikan calon jamaah. Bagaimana jamaah tidak diberatkan dan bagaimana negara tidak rugi," ujar Afifuddin dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
Pernyataan Afifuddin tersebut disampaikan saat menjadi pembicara pada Muzakarah Perhajian Indonesia yang digelar di Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah Situbondo.
Pada penyelenggaraan ibadah haji 1443 Hijirah/2022 Masehi terjadi kenaikan biaya masyair sebesar Rp23 juta per jamaah. Angka itu membuat BPIH berada di kisaran Rp97,7 juta, sementara yang dibayar jamaah sebesar Rp39,8 juta. Adapun sisanya menggunakan nilai manfaat dana optimalisasi mencapai 57,9 juta per jamaah.
Apabila tidak ada kebijakan terbaru untuk merespon kondisi tersebut, maka dana manfaat haji yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) akan terus menipis.
Ia menjelaskan bahwa jika BPIH dikelola oleh pemerintah, maka harus ada pembagian keuntungan. Pemerintah bisa membuat kebijakan dengan menerima setoran pembayaran yang tidak sepenuhnya dari calon jamaah haji.
Afifuddin mencontohkan jika BPIH Rp100 juta, maka negara punya toleransi jamaah menyetor sebagian (sekian persen) dari jumlah tersebut. Terpenting, kata dia, nilainya jangan terlalu kecil yang didasarkan kesepakatan dan keadilan negara.
"Pada dasarnya, negara tidak punya kewajiban menyubsidi jamaah. Yang penting, pemerintah memberi kemudahan kepada jamaah agar bisa berhaji dengan baik," kata dia.
Terkait konsep istitha'ah (kemampuan), Afifuddin menjelaskan bahwa itu didefinisikan sebagai orang yang memiliki segala yang dibutuhkan untuk perjalanan haji. Ia mengingatkan agar perjalanan ibadah haji tidak meninggalkan utang di kemudian hari.
"Ada orang berangkat haji meninggalkan utang. Padahal sebelum berangkat haji, harusnya utang dilunasi dulu. Sekarang banyak orang haji dengan berutang, meski hajinya tetap sah," ujarnya.
Senada dengan Afiffudin, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Abdul Moqsith Ghozali mengatakan kewajiban berhaji adalah kewajiban individual. Pemerintah bertugas sebagai fasilitator, sementara kehadiran Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) membantu meringankan jamaah agar tidak mengeluarkan uang terlalu mahal.
Sehubungan dengan kenaikan biaya haji yang sangat signifikan pada 2022, Moqsith memandang perlunya menaikkan biaya haji secara bertahap. Hal itu penting dilakukan demi keberlangsungan pembiayaan ibadah haji.
Menurutnya, pada 2022 rata-rata biaya haji mencapai Rp97,7 juta, sementara yang dibayar jamaah pada kisaran Rp39,8 juta. Sisanya diambilkan dari nilai manfaat dana optimalisasi.
"Jika pola ini dipertahankan, nilai manfaat dana optimalisasi haji bisa habis pada 2027. Usul kenaikan biaya haji dilakukan secara bertahap," kata dia.
Baca juga: Wapres: Subsidi dana haji harus dirasionalisasi
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022