Yogyakarta (ANTARA) - Di tengah melandainya penyebaran COVID-19, vaksinasi terus digencarkan oleh pemerintah. Bukan sekadar vaksinasi corona, vaksinasi antiradikalisme pun terus dikebut.
Penularan "virus" radikalisme dan antitoleransi yang melalui beragam cara dengan menyasar generasi muda menjadi alasan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pantang mengerem "vaksinasi" itu.
Generasi muda usia 14 hingga 19 tahun atau disebut Generasi Z serta usia 20 hingga 39 tahun (Milenial) menjadi sasaran empuk dari kelompok radikal, lantaran dinilai memiliki masa hidup yang panjang untuk dipersiapkan sebagai kader.
Karena masih labil secara emosi dipadu rasa keingintahuan yang tinggi, kaum muda itu masuk prioritas target aksi cuci otak kelompok tersebut.
Pada 2020, Indeks potensi radikalisme di Indonesia mencapai 14,0 (pada skala 0-100).
Dari angka tersebut, BNPT menyebut Generasi Z dan Milenial mendominasi, mencapai lebih dari 50 persen.
Pada tahun yang sama, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta juga menyebut 30,16 persen mahasiswa memiliki sikap toleransi beragama yang rendah.
Karena sederet alasan itulah, BNPT hingga kini terus menggelar upaya kontraradikalisme di berbagai daerah, salah satunya di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menyasar kalangan pemuda.
Beberapa waktu lalu, puluhan siswa dari sejumlah SMA di DIY dikumpulkan BNPT di Gedung Museum Pendidikan Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Setelah mendapat vaksin antiradikalisme langsung dari Direktur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Polisi R. Ahmad Nurwakhid, mereka kemudian diminta membaca ikrar bersama-sama untuk sanggup memajukan bangsa serta melaksanakan Pancasila seraya mengucap "NKRI harga mati".
Karena yang dilawan adalah ideologi pengusung kekerasan yang kemudian dianalogikan sebagai virus, tentu saja vaksinasi dimaksud tidak melalui jarum suntik.
Vaksinasi yang dilakukan BNPT adalah dengan menanamkan konsensus atau empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika), revitalisasi nilai-nilai Pancasila, moderasi beragama dan penguatan budaya Nusantara.
Sebelum melakukan vaksinasi, mula-mula BNPT memilah mana peserta yang memiliki kerentanan tinggi menjadi radikal dan mana yang kerentanannya lebih rendah.
Sementara yang tergolong "orang tanpa gejala" (OTG) atau sudah terpapar radikalisme, namun tidak sadar, BNPT langsung mendekati mereka dengan kontra-radikalisme di dunia maya maupun nyata melalui kontra-ideologi, kontra-narasi, dan kontra-propaganda.
Jelang tahun politik
Kendati penularan radikalisme pada tahun 2020 mengalami tren melandai atau menurun 12,2 persen dibandingkan 2019 yang mencapai 38,4 persen, pencegahan paham radikal tak boleh ikut-ikutan melandai.
Penerapan protokol kesehatan (prokes) yang ketat pada 2020 membuat para penceramah dengan materi-materi dakwah yang moderat hadir di dunia maya, sehingga efektif menekan pengaruh radikalisme di Tanah Air yang tersebar secara daring.
Namun demikian, setelah penularan corona melandai, ceramah virtual yang moderat menurun dan kembali berlangsung secara tatap muka. Akibatnya, konten-konten radikal berpeluang mendominasi.
Selain itu, momentum menjelang tahun politik 2024 juga disebutkan BNPT berpotensi dimanfaatkan kelompok radikal serta teroris untuk menebar pengaruhnya di dunia maya maupun nyata.
Untuk mencegah itu, BNPT bekerja dari hulu ke hilir. Di hulu dilakukan dengan meningkatkan peran masyarakat dan komunitas, termasuk vaksinasi antiradikalisme, sehingga tidak sampai meningkat ke arah terorisme.
Kemudian di hilir BNPT mendukung aparat penegak hukum dalam melakukan penindakan terhadap individu maupun kelompok yang terlibat dalam aktivitas terorisme.
Pencegahan penyebaran paham radikal perlu diintensifkan menjelang Pemilu 2024 sebab kelompok radikal juga menggunakan sarana politik guna mencapai tujuan.
Terorisme bukanlah tujuan, terorisme itu hanya salah satu alat strategi atau propaganda untuk mencapai tujuan. Sarana lainnya, bisa melalui dakwah atau menggunakan dunia politik.
Politisasi agama menjadi salah satu sarana menyebarkan pengaruh dengan menciptakan polarisasi di tengah masyarakat.
Guru sebagai panutan
Menurut sosiolog UGM Najib Azca, proses rekrutmen jaringan teroris dilakukan terhadap kalangan pemuda yang baru beranjak dewasa.
Kelompok umur ini sangat potensial direkrut lantaran belum memiliki kepribadian yang kuat dan tengah mencari tokoh panutan.
Karena itu, BNPT juga menyasar para guru di sekolah agar selain memberikan materi pelajaran di kelas, mereka juga harus bisa menjadi panutan dengan memberikan contoh melalui sikap dan perilaku yang moderat di hadapan siswa.
Untuk mencegah bibit radikalisme di sekolah, para guru di berbagai jenjang pendidikan diminta memasukkan nilai-nilai moderasi beragama dalam materi pelajaran.
Nilai-nilai moderasi beragama yang dapat disisipkan dalam materi pelajaran meliputi toleransi, semangat kebangsaan, saling menghormati dan menghargai keragaman atau kebinekaan.
Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) DIY Bambang Wisnu Handoyo mengakui bahwa penyebaran paham radikal bisa menyelinap masuk di ruang-ruang pendidikan, termasuk di sekolah.
Dengan alasan itu pula, sebanyak 100 guru di DIY dikumpulkan untuk mengikuti kegiatan "Training Of Trainer menjadi Guru Pelopor Moderasi Beragama".
Pasalnya, tanpa sengaja terkadang intoleransi diciptakan oleh kelompok-kelompok elit sendiri. Misalnya, guru-guru yang tidak sengaja melakukan atau bersikap intoleran di hadapan para siswa. Mereka lupa bahwa murid akan mengawasi dan meniru sikap itu.
Vaksinasi antiradikalisme serta menggalang partisipasi aktif pemangku kepentingan di bidang pendidikan adalah bagian dari pendekatan lunak BNPT selain tindakan secara tegas untuk memberantas terorisme.
Pendekatan itu dianggap paling tepat karena dalam konteks pencegahan radikalisme dan terorisme tidak akan menimbulkan kegaduhan juga dendam berkepanjangan.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022