Semarang (ANTARA) - Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 merupakan momentum untuk membuktikan kecintaan rakyat terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan melibatkan diri sebagai pemantau pemilihan agar pelaksanaan pemilu mendatang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pemantau pemilu yang notabene pemilih perlu memberikan kontribusi pada produk pemilu mendatang agar melahirkan pemimpin bangsa yang sidik (jujur), amanah (dapat dipercaya), fatanah (cerdas), dan tablig (menyampaikan kebenaran), baik pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, pemilu anggota DPRD provinsi, maupun pemilu anggota DPRD kabupaten/kota. Lima pemilu ini dijadwalkan pada tanggal 14 Februari 2024.

Bahkan, kalau merujuk pada Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pemantau Pemilihan Umum, perseorangan pun dapat menjadi pemantau pemilu. Definisi pemantau pemilu, menurut versi perbawaslu ini, adalah lembaga swadaya masyarakat, badan hukum, lembaga pemantau dari luar negeri, lembaga pemilihan luar negeri, dan perwakilan negara sahabat di Indonesia, serta perseorangan yang mendaftar ke Bawaslu dan telah memperoleh akreditasi dari Bawaslu.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan pemantauan pemilu adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemantau pemilu untuk memantau pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilu. Di sinilah peran yang perlu dimainkan pemantau pemilu agar penyelenggara pemilu dalam pelaksanaan pemilihan umum mendatang sesuai dengan aturan pesta demokrasi 5 tahunan itu.

Ditegaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) Pasal 4 bahwa pengaturan penyelenggaraan pemilu bertujuan untuk memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis, mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas, menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu, memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan pemilu, serta mewujudkan pemilu yang efektif dan efisien.

Selain berdasarkan pada asas luber dan jurdil, penyelenggara pemilu dalam penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip, mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien (vide UU Pemilu, Pasal 3). Dalam undang-undang ini, mengatur pula tugas dan fungsi Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Setidaknya, pemantau pemilu tahu akan tugas dan fungsi ketiga lembaga tersebut agar punya bekal dalam melakukan pemantauan tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 sehingga tetap berada di koridor aturan main kepemiluan.

Apalagi, dalam UU Pemilu, ada larangan mencampuri pelaksanaan tugas dan wewenang penyelenggara pemilu, memengaruhi pemilih dalam menggunakan haknya untuk memilih, memihak kepada peserta pemilu tertentu, dan melakukan kegiatan yang mengganggu proses pelaksanaan pemilu.

Dijelaskan pula dalam Penjelasan UU Pemilu apa yang dimaksud dengan "kegiatan yang mengganggu proses pelaksanaan pemilu", antara lain, penggunaan alat elektronik yang dapat mengganggu sistem komunikasi dan informasi pemilu.

Larangan lainnya, pemantau pemilu tidak boleh menggunakan seragam, warna, atau atribut lain yang memberikan kesan mendukung peserta pemilu, menerima atau memberikan hadiah, imbalan, atau fasilitas apa pun dan/atau kepada peserta pemilu.

Baik pemantau dalam negeri maupun pemantau pemilu berasal dari luar negeri, ada larangan mencampuri dengan cara apa pun urusan politik dan pemerintahan dalam negeri Indonesia.

Mereka juga tidak boleh membawa senjata, bahan peledak, dan/atau bahan berbahaya lainnya selama melakukan pemantauan, dan melakukan kegiatan lain yang tidak sesuai dengan tujuan sebagai pemantau pemilu.

Bahkan, dalam UU Pemilu Pasal 442, ada larangan pemantau pemilu masuk ke dalam tempat pemungutan suara (TPS). Lembaga pemantau pemilu yang melanggar aturan itu terancam dicabut status dan haknya sebagai pemantau pemilu oleh Bawaslu. Dalam Bab II Ketentuan Pidana Pemilu, tidak ada hukuman bagi pemantau pemilu yang masuk ke arena TPS.

Namun, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), diatur dalam Pasal 128.

Pengurus lembaga pemantau pemilihan yang melanggar ketentuan larangan tersebut terancam hukuman penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp36 juta dan paling banyak Rp72 juta (vide Pasal 187D UU No. 10 Tahun 2016).

Sebaiknya ketentuan dalam UU Pilkada itu ditiadakan mumpung masih ada waktu karena pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati dijadwalkan pada tanggal 27 November 2024 di 33 provinsi dan di 508 kabupaten/kota.

Khusus mereka yang ingin menjadi pemantau pemilu pada Pemilihan Umum 2024, harus memenuhi persyaratan, antara lain, bersifat independen, mempunyai sumber dana yang jelas, serta teregistrasi dan memperoleh izin dari Bawaslu, bawaslu provinsi, atau bawaslu kabupaten/kota sesuai dengan cakupan wilayah pemantauannya.

Untuk menjadi pemantau pemilu, mereka mengajukan permohonan untuk melakukan pemantauan pemilu dengan mengisi formulir registrasi yang disediakan oleh Bawaslu, bawaslu provinsi, atau bawaslu kabupaten/kota.

Mereka juga harus menyerahkan kelengkapan administrasi yang meliputi profil organisasi/lembaga, memiliki surat keterangan terdaftar (SKT) dari Pemerintah atau pemerintah daerah, atau memiliki pengesahan badan hukum yayasan atau badan hukum perkumpulan.

Kelengkapan administrasi lainnya yang harus dipenuhi, antara lain, nomor pokok wajib pajak (NPWP) organisasi/lembaga, nama dan jumlah anggota pemantau, alokasi anggota pemantau yang akan ditempatkan ke daerah, rencana dan jadwal kegiatan pemantauan serta daerah yang ingin dipantau. Berikutnya nama, surat keterangan domisili, dan pekerjaan penanggung jawab pemantau yang dilampiri pasfoto diri terbaru.

Untuk menjadi pemantau pemilu, tidaklah mudah. Masalahnya, jika tidak memenuhi kelengkapan administrasi tersebut, ada larangan bagi pemantau pemilu yang bersangkutan melakukan pemantauan pemilu. Bisa dikatakan, hanya masyarakat yang berkeinginan kuat menjadi pemantau pemilu agar Pemilu 2024 luber, jurdil, dan demokratis dalam bingkai NKRI.


*) D.Dj. Kliwantoro, Ketua Dewan Etik Mappilu PWI Provinsi Jawa Tengah.

Copyright © ANTARA 2022