Penyusunan seleksi oleh FAO dilakukan pada awal tahun

Bogor (ANTARA) - Salah satu nelayan asal Pulau Buru, Provinsi Maluku, Umar Papalia terpilih dalam kampanye "International Year for Artisanal Fisheries and Aquaculture" (IYAFA) Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) 2022.

Direktur Marine Stewardship Council (MSC) Indonesia Hirmen Syofyanto, dalam taklimat media kepada ANTARA di Bogor, Jawa Barat, Senin menjelaskan penyusunan seleksi oleh FAO dilakukan pada awal tahun.

MSC adalah organisasi nirlaba internasional yang menetapkan standar berbasis sains dan diakui secara global terhadap penangkapan ikan serta keterlacakan makanan laut yang berkelanjutan.

"Dan baru diinformasikan oleh pihak FAO sebelum publikasi di Hari Perikananan Sedunia (World Fisheries Day)," kata Hirmen Sofyanto.

Sementara itu Commercial Communication Officer MSC Indonesia Usmawati Anggita Sakti menambahkan terpilihnya Umar Papalia dalam kampanye IYAFA FAO tersebut juga ditampilkan dalam laman FAO.

Dalam laman itu diinformasikan kisah dan testimoni Umar Papalia, yang menceritakan bahwa ia telah melaut selama lebih dari 15 tahun.

Dia memulai harinya pada pukul 4:30 pagi, menangkap umpan cumi-cumi yang dibutuhkan untuk memikat ikan tuna.

"Sekitar jam 6 pagi, kami mencari lumba-lumba, karena di mana ada lumba-lumba, di situ ada tuna," katanya.

Umar dan rekan-rekan nelayan kecilnya kekurangan alat pencari ikan atau alat yang digunakan untuk mencari ikan melalui sonar.

Mereka terus mencari sirip lumba-lumba untuk mengetahui di mana mencari ikan tuna sirip kuning, tanpa merusak atau menangkap lumba-lumba.

Umar adalah seorang nelayan tradisional di perikanan tuna sirip kuning dari Asosiasi Nelayan Buru Utara, Maluku di kawasan timur Indonesia.

Perikanan skala kecil yang beroperasi di kapal, dengan satu atau dua orang menggunakan kail dan tali telah disertifikasi oleh MSC sebagai perikanan berkelanjutan.

Namun, ini tidak selalu terjadi. Sekitar 10 tahun yang lalu, Umar memiliki firasat bahwa ikan tuna semakin sulit ditemukan.

"Kami membutuhkan waktu lebih lama untuk menemukannya, artinya kami harus melakukan perjalanan lebih jauh yang membutuhkan lebih banyak bahan bakar," katanya.

"Ini membuat saya menyadari tekanan yang dihadapi tuna," tambahnya.

Pada 2012, dengan dukungan LSM lokal, sektor swasta dan akademisi, Umar mulai mengumpulkan data yang diperlukan untuk memahami kesehatan stok.

Menurut Umar data itu penting karena dapat memberi nelayan kecil kesempatan untuk mencapai standar internasional untuk keberlanjutan.

Kehadiran MSC di Indonesia juga membantu Umar dan mitra lokal untuk menerjemahkan Standar Perikanan MSC, sehingga memperkuat kegiatan perbaikan perikanan dan menjaga stok tuna sirip kuning.

Pada tahun 2020, perikanan tuna skala kecil Indonesia menjadi yang pertama di negara ini yang memegang sertifikasi Fairtrade dan MSC.

Namun, itu bukan tugas yang mudah. Butuh banyak pengorbanan pribadi, kesabaran dan komitmen untuk memenuhi standar yang dibutuhkan.

Tuna lestari Buru Utara telah masuk ke Asia dan saat ini sebagian besar dijual ke Amerika Serikat.

"Sebelumnya kami biasa menjualnya dengan harga yang murah," katanya.

Namun sejak terlibat dengan program MSC, kata Umar, nelayan memahami bagaimana program ini dapat membantu meningkatkan praktik penangkapan ikan.

"Sekarang kami juga bisa mendapatkan harga yang lebih baik untuk tuna kami," katanya.

Ada permintaan yang meningkat untuk ikan yang berkelanjutan dan Umar Papalia yakin masa depan akan bergantung padanya.

Baca juga: Menteri Trenggono minta sertifikat MSC tuna terus dipertahankan

Baca juga: MSC apresiasi nelayan Pulau Buru-Maluku jaga keberlanjutan perikanan

Baca juga: Nelayan Buru raih sertifikat ekolabel global dibuat film dokumenter

Baca juga: Prestasi dunia kelompok nelayan tuna Pulau Buru raih ekolabel MSC

Pewarta: M Fikri Setiawan
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022