Jakarta (ANTARA) - Indonesia perlu membangun optimisme menyambut tahun-tahun ke depan mengingat potensi dan peluang sumber daya yang ada di Tanah Air sangat besar.
Ancaman resesi global memang terasa semakin nyata, sebagaimana misalnya tentang bahaya gelombang PHK, terutama pada usaha di bidang sektor padat karya, yaitu garmen, tekstil dan alas kaki, yang selama ini menyerap tenaga kerja sangat besar.
Gelombang PHK ini berpotensi berlanjut akibat potensi resesi global di tahun depan. Proyeksi ekonomi global sendiri susut dari tahun ini sebesar 3,2 persen menjadi 2,9 persen untuk tahun 2023. Imbasnya, para pelaku usaha mengalami kecemasan untuk melakukan investasi maupun ekspansi bisnis.
Imbas dari memburuknya ekonomi dunia juga telah mengancam banyak usaha startup, termasuk di antaranya Amazon, Meta, Twitter, Shopee, dan Gojek Tokopedia (GoTo) telah memberikan klarifikasi ihwal kabar pemecatan karyawannya.
Oleh karena itu, Indonesia saatnya menggali kembali sumber ekonomi baru untuk menghadapi berbagai ancaman yang datang dari eksternal. Sejumlah upaya yang dapat dilakukan, di antaranya membangun hilirisasi industri minerba.
Pemerintah Indonesia sudah melarang ekspor komoditas minerba dalam bentuk mentah. Selain memberikan nilai tambah berkali lipat, hilirisasi industri minerba telah menambah lapangan pekerjaan dan secara langsung meningkatkan penerimaan negara. Pemerintah juga telah memberikan insentif fiskal untuk melanjutkan inisiatif ini.
Pengembangan hilirisasi industri minerba bukan hal yang mudah, karena selama ini negara induatrialis adalah pasar bahan mentah hasil tambang dari Indonesia bertahun-tahun hingga sebelum Indonesia merdeka di masa penjajahan. Perjuangan ini sungguh perlu mendapat dukungan seluruh masyarakat luas Indonesia.
Presiden Jokowi pada awal tahun 2020 telah melakukan larangan ekspor biji nikel mentah, sejak berdirinya smelter pengolahan nikel di Sulawesi yang kemudian berakibat adanya gugatan dari negara Uni Eropa yang selama ini mendapatkan keuntungan besar dari impor mentah biji nikel. Dan Presiden Jokowi menyatakan Indonesia akan memakai jasa pengacara paling ulung untuk menghadapi gugatan negara Uni Eropa di WTO.
Presiden Jokowi juga yakin hilirisasi bisa mendorong pendapatan per kapita Indonesia. Namun itu bisa berhasil tercapai jika dilakukan secara konsisten dan dia berharap presiden setelahnya juga bisa konsisten. Setelah itu Jokowi berpesan agar pemimpin selanjutnya tidak perlu takut untuk menyetop ekspor nikel. Meskipun harus digugat walaupun kalau kalah oleh Uni Eropa di WTO.
Tercatat sejak kebijakan hilirisasi minerba dalam catatan Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada tahun ini hasil ekspor nikel yang sudah dilakukan hilirisasi diprediksi menembus 27 miliar - 30 miliar Dolar AS atau Rp418 triliun - Rp465 triliun (kurs rupiah Rp 15.500 per Dolar AS).
Sebelum larangan ekspor bijih nikel berlaku di Indonesia, nilai ekspor bijih nikel hanya mencapai 3 miliar Dolar AS atau Rp46,5 triliun (kurs Rp 15.500 per Dolar AS) pada tahun 2017 - 2018.
Adapun di tahun 2021 nilai ekspor melejit mencapai 20,9 miliar Dolar AS atau sekitar Rp323 triliun. Menurut data perdagangan dan Kemenko Perekonomian, di akhir tahun 2022 ekspor nikel bisa mencapai 27 miliar - 30 miliar Dolar AS (Rp465 triliun) sebagai dampak hilirisasi.
Kemudian Kementerian ESDM mencatat kontribusi penerimaan negara bukan pajak dari sektor mineral dan batu bara hingga 11 November mencapai Rp146,85 triliun. Ekspor batubara disebutkan berperan memberikan kontribusi lebih dari 60 persen. Dan perlu diketahui transaksi berjalan RI surplus 4,4 miliar Dolar AS.
Gernas BBI
Sumber ekonomi baru yang layak untuk segera dioptimalkan adalah mendorong penggunaan produk dalam negeri.
Hal ini sejalan dengan permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang selalu menekankan gunakan produk dalam negeri. Salah satunya melalui program Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI).
APBN tahun 2023 nilainya lebih dari Rp 3.000 triliun dan hampir Rp750 triliun di antaranya bisa digunakan untuk belanja produk dalam negeri. Maka alokasi belanja ini, meski jangka pendek, bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Penggunaan atau pembelian produk-produk dalam negeri tentu juga dapat menjadi strategi menghadapi resesi global dengan mendorong tingkat konsumsi masyarakat, yang tentu berkaitan dengan kemampuan daya beli masyarakat, dengan menjaga nilai inflasi dan harga barang kebutuhan.
Sebagai contoh, Jepang mencatatkan kenaikan inflasi tertinggi dalam 40 tahun terakhir sejak Februari 1982, yaitu sebesar 3,6 persen. Bank Jepang (BOJ) menyebut inflasi negara itu naik selama 14 bulan berturut-turut dan angka pada Oktober 2022 telah melampaui kenaikan 3 persen di bulan sebelumnya.
Menurut perusahaan analisis Teikoku Databank Ltd, harga sekitar 6.700 barang sehari-hari naik pada Oktober 2022. Sementara harga makanan naik rata-rata 5,9 persen, disusul listrik 20,9 persen, dan gas 26,8 persen. Angka inflasi belakangan ini diperburuk oleh peningkatan harga energi dan mata uang Yen yang melemah.
Hal demikian kemudian disikapi oleh masyarakat Jepang dengan mulai mengurangi pengeluaran secara drastis, imbas dari harga barang dan jasa yang terus meroket di tengah hantaman inflasi negara itu.
Namun kehati-hatian keuangan semacam itu telah membuat rumah tangga Jepang malah mengumpulkan aset sebesar Rp244 ribu triliun selama bertahun-tahun, dengan lebih dari setengahnya disimpan dalam bentuk tabungan.
Gaya hidup hemat ini yang kemudian membuat pemerintah sakit kepala, karena justru bisa membuat ekonomi nasional nyaris mati karena lamban bergerak.
Pemerintah Jepang memberikan bantuan, masing-masing senilai 100 ribu Yen atau sekitar Rp12,5 juta untuk setiap anggota keluarga sebagai bagian dari program menggenjot konsumsi masyarakat. Tapi yang terjadi adalah, uang itu lebih banyak ditabung daripada untuk belanja.
Pemerintah Perdana Menteri Fumio Kishida telah membayar hampir Rp244 triliun dalam bentuk bantuan langsung tunai kepada keluarga. Namun tidak seperti stimulus AS yang mengangkat belanja konsumen, dampaknya terlihat terbatas di Jepang, di mana rumah tangga lebih cenderung menyimpan uang atau membayar utang.
Meningkatkan konsumsi produk-produk lokal tentu sangat perlu memperhatikan tingkat daya beli masyarakat terhadap harga barang kebutuhan. Sehingga perputaran ekonomi domistik tetap terjaga dengan baik, yang akan berdampak menahan laju PHK akibat arus barang konsumsi.
Transformasi hijau
Untuk mendukung sumber-sumber ketahanan, maka juga diperlukan percepatan proses penyusunan Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK).
Mengingat sektor keuangan Indonesia masih sangat dangkal, sementara industri ini menghadapi disrupsi teknologi yang masif.
Reformasi sektor keuangan dengan meningkatkan lebih luas akses jasa keuangan. Dengan memperluas sumber pembiayaan jangka panjang akan meningkatkan daya saing dan efisiensi, serta meningkatkan perlindungan investor dan konsumen. Mengingat kondisi ekonomi Indonesia masih relatif lebih solid.
Sementara itu, wacana transformasi hijau juga perlu terus digalakkan sebagai upaya pendukung. Transformasi ini akan membuka banyak peluang baru dan untuk itu Indonesia tidak perlu lagi ragu dalam berkomitmen terhadap agenda perubahan iklim, di mana Indonesia telah berkomitmen menuju net zero emission pada 2060 atau lebih cepat dari tahun itu.
Ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu mengurangi penggunaan energi fosil dan bersamaan dengan itu membangun pembangkit energi terbarukan.
Pada pertemuan G20 Kementerian Koperasi dan UKM atau Kemenkop UKM membahas tentang transisi usaha menuju ekonomi hijau yang dapat memberikan peluang bisnis yang besar.
Merujuk studi dari World Economic Forum 2020, di mana estimasi transisi ke ekonomi hijau dapat menghasilkan peluang bisnis senilai 10 triliun Dolar AS dan membuka 395 juta lapangan pekerjaan pada tahun 2030.
Sementara ini banyak bisnis yang enggan mengadopsi ekonomi hijau. Hal ini, karena ekonomi hijau dipandang sebagai masalah teknis yang rumit dengan biaya produksi yang tinggi.
Karena ini peran penting UMKM dalam mendorong agenda ekonomi hijau bertujuan supaya lebih banyak melakukan investasi untuk bisnis yang mengadopsi praktik tersebut.
Ekonomi hijau tidak hanya akan memberikan pemulihan ekonomi dan lapangan pekerjaan. Selain itu, ekonomi hijau akan dapat membantu memajukan tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Ini menjadi momentum yang tepat bagi seluruh elemen masyarakat untuk menyatukan kekuatan dengan segala daya upaya di berbagai bidang, berjuang untuk mewujudkan masa depan lebih baik bagi bangsa dan negara Indonesia agar dapat diwariskan kepada generasi muda penerus perjuangan.
*) Jeannie Latumahina adalah Ketua Umum RPA Perindo, tokoh perempuan Maluku, aktivis, pengamat masalah ekonomi.
Copyright © ANTARA 2022