... honorarium anggota badan ad hoc sebaiknya disesuaikan dengan kondisi daerah

Tanjungpinang (ANTARA) - Keberhasilan pemilu di Indonesia sejak tahun 1955 hingga 2019 tidak terlepas dari peran serta penyelenggara pemilu yang bertugas di daerah yang berbatasan dengan negara tetangga.

Penyelenggaraan pemilu di daerah perbatasan, seperti di Provinsi Kepulauan Riau, tidak sekadar mengimplementasikan sirkulasi kekuasaan melalui pemilu 5 tahunan. Lebih dari itu, pelaksanaan tahapan pemilu di daerah perbatasan berhasil "menyelamatkan" wajah Indonesia di mata negara tetangga.

Keberhasilan pelaksanaan pesta rakyat selama ini tentu tidak terlepas dari kerja keras penyelenggara pemilu, termasuk penyelenggara pemilu ad hoc di tingkat kecamatan, kelurahan, dan desa.

Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau mencatat sebanyak 2,1 juta orang berdomisili di 332 pulau, sedangkan 1.464 pulau tidak berpenghuni. Sebanyak 2,1 juta orang penduduk Kepri menyebar di 78 kecamatan atau 416 kelurahan dan desa.

Kepulauan Riau merupakan salah satu provinsi yang berbatasan dengan Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan Singapura. Berdasarkan hasil penelitian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan PBB tahun 2015, provinsi ini memiliki 1.796 pulau, yang tersebar di Kabupaten Natuna, Kabupaten Kepulauan Anambas, Kabupaten Bintan, Kabupaten Lingga, Kabupaten Karimun, Kota Batam, dan Kota Tanjungpinang.

Sebanyak 22 dari 1.796 pulau berbatasan dengan Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan Singapura. Pulau yang berbatasan dengan negara itu yakni Pulau Berakit, Pulau Sentut, Pulau Tokong Malang Biri, Pulau Damar, Pulau Mangkai, Pulau Tokong Nanas, Pulau Tokong Belayar Pulau Tokong Boro, Pulau Semiun, Pulau Sebetul, Pulau Sekatung, Pulau Senua, Pulau Subi Kecil, Pulau Kepala, Pulau Tokonghiu Kecil, Pulau Karimun Anak, Pulau Nipah, Pulau Pelampung, Pulau Batuberantai, Pulau Putri, Pulau Bintan, dan Pulau Malang Berdaun.

Hanya Tanjungpinang dan Lingga yang tidak memiliki pulau terdepan. Namun Tanjungpinang berada dalam satu pulau dengan Bintan.

Dari data tersebut, tampak jelas bahwa sebagian besar kecamatan, kelurahan, dan desa di wilayah itu berada di pulau-pulau.

Penyelenggaraan pemilu di pulau-pulau yang berpenghuni tentu tidak sama dengan provinsi yang didominasi oleh daratan. Bagi provinsi yang didominasi daratan, penyelenggara pemilu dapat melaksanakan tugasnya dengan menggunakan kendaraan roda empat dan roda dua atau mungkin cukup dengan jalan kaki jika jaraknya dekat.

Di provinsi kepulauan, untuk menyeberang dari satu pulau ke pulau lainnya harus menggunakan perahu atau kapal dan memakan waktu cukup lama. Penyelenggara pemilu di Kepulauan Riau harus menunggu waktu yang tepat untuk menyeberang ke pulau lainnya, terutama saat musim angin utara.

Musim angin utara yang mulai terjadi awal November 2022 hingga Februari 2022 menyebabkan gelombang laut tinggi, angin kencang, dan hujan lebat. Di Natuna dan Kepulauan Anambas, misalnya, gelombang laut dapat mencapai lebih dari 3 meter. Tentu kondisi itu bukan hanya menyebabkan tidak nyaman tapi juga membahayakan keselamatan para penyelenggara pemilu.

Di samping itu, biaya yang dibutuhkan petugas untuk melaksanakan kegiatan kepemiluan, seperti melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual partai politik di pulau-pulau jauh lebih besar dibanding yang berada di daratan. Mereka harus menggunakan kapal untuk sampai ke rumah anggota partai.

Tarif kapal cepat dari Pulau Tarempa menuju Pulau Letung atau sebaliknya sebesar Rp150.000 per orang. Perjalanan yang ditempuh sekitar 1,5 jam.

Persoalan lainnya terkait biaya hidup di pulau-pulau, terutama di Anambas dan Natuna, jauh lebih tinggi dibanding tujuh kabupaten dan kota lainnya di Kepri. Upah minimum di Kabupaten Natuna tahun 2022 mencapai Rp3,1 juta, lebih tinggi sedikit dibanding Tanjungpinang, Ibu Kota Kepulauan Riau yang Rp3 juta. Di Anambas, upah minimum tahun 2022 mencapai Rp3,5 juta, mendekati Bintan Rp3,6 juta.

Harga komoditas kebutuhan masyarakat di Natuna dan Anambas terkenal mahal dibanding daerah lainnya di Kepri. Sebagian besar kebutuhan masyarakat yang tinggal di kabupaten itu didistribusikan dari Tanjungpinang, Bintan, dan Batam.

Sebagian besar kebutuhan masyarakat Kepulauan Riau berasal dari negara tetangga dan provinsi lain di Indonesia.

Bercermin dari kondisi geografis dan komoditas kebutuhan masyarakat, maka tidak lazim bila penyelenggara pemilu ad hoc atau badan ad hoc yang bertugas di pulau-pulau mendapatkan perlakuan yang sama dengan penyelenggara pemilu yang bertugas di daratan. Perlakuan yang dimaksud tersebut tentu berhubungan honorarium yang mereka terima setiap bulan.


Insentif Badan Ad Hoc
Honorarium penyelenggara pemilu ad hoc pada Pemilu 2024 bersumber dari anggaran pusat. Menteri Keuangan Sri Mulyani belum lama ini menetapkan honorarium untuk Ketua Panwascam untuk Pemilu 2024 naik dari Rp1,8 juta per bulan menjadi Rp2,2 juta per bulan, sementara untuk Anggota Panwascam naik dari Rp1,6 juta per bulan menjadi Rp1,9 juta per bulan.

Ketua Bawaslu Kepri Said Abdullah Dahlawi mengatakan salah satu kekhawatiran dalam penyeleksian Anggota Panwascam, terutama di Natuna, Anambas, dan Lingga yakni besaran honorarium tidak menarik perhatian warga. Namun hal itu tidak terjadi, meski jadwal penyeleksian sempat diperpanjang untuk memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan.

Bawaslu kabupaten dan kota sudah membentuk panwascam di 78 kecamatan. Seluruh Anggota Panwascam harus melaksanakan tugas dan kewajibannya penuh waktu.

Menteri Keuangan juga menetapkan honorarium panitia pemilihan kecamatan dan panitia pemungutan suara (PPK dan PPS) Pemilu 2024. Honorarium untuk Ketua PPK Rp1,85 juta pada Pemilu 2019, Rp2,2 juta pada Pilkada 2020, naik menjadi Rp2,5 juta pada Pemilu 2024. Sementara honorarium yang diterima Anggota PPK Rp1,6 juta pada Pemilu 2019, Rp1,9 juta pada Pilkada 2020, naik menjadi Rp2,2 juta pada Pemilu 2024.

Pada Pemilu 2019, honorarium yang diterima Ketua PPS Rp900.000, sedangkan pada Pilkada tahun 2020 naik menjadi Rp1,2 juta. Kemudian pada Pemilu 2024, honorarium untuk Ketua PPS naik lagi menjadi Rp1,5 juta. Sementara honorarium untuk Anggota PPS Rp800.000 pada Pemilu 2019 dan pilkada tahun 2020 naik menjadi Rp1,15 juta, kemudian naik kembali pada Pemilu 2024 menjadi Rp1,3 juta.

Honorarium untuk kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) naik dari Rp550.000 pada Pemilu 2019 menjadi Rp1,2 juta pada Pemilu 2024. Selain itu, untuk Anggota KPPS, honorarium naik dari Rp500.000 menjadi Rp1,1 juta.

Honorarium petugas badan ad hoc lain petugas pemutakhiran data pemilih naik dari Rp800.000 pada Pemilu 2019 menjadi Rp1 juta pada Pilkada 2020 dan Pemilu 2024. Selain kenaikan honor badan ad hoc, pemerintah juga telah menetapkan satuan biaya untuk perlindungan bagi petugas badan ad hoc, untuk kecelakaan kerja bagi badan ad hoc, dan penyelenggara pemilu dan Pilkada 2024. Santunan bagi yang meninggal dunia Rp36 juta per orang, cacat permanen Rp38 juta per orang, luka berat Rp16,5 juta per orang, luka sedang Rp8,250 juta per orang, dan bantuan biaya pemakaman Rp10 juta per orang.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang Dr. Alfiandri berpendapat penetapan honorarium anggota badan ad hoc sebaiknya disesuaikan dengan kondisi daerah. Kondisi geografis dan perekonomian di daerah tidak selalu sama, apalagi yang berada di pulau-pulau jauh dari pusat pemerintahan sehingga hal tersebut perlu mendapat perhatian serius sebelum menetapkan honorarium anggota badan ad hoc.

Mengingat kondisi tersebut, maka pendapatan anggota badan ad hoc yang bertugas di daerah perbatasan sebaiknya tidak hanya bersumber dari honorarium, melainkan juga insentif untuk meningkatkan kinerja mereka. Honorarium petugas badan ad hoc di tingkat kecamatan hingga kelurahan dan desa bersumber dari APBN, namun pemerintah daerah dapat memberikan insentif kepada mereka melalui anggaran daerah.

Kolaborasi antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam menyukseskan Pemilu 2024 dibutuhkan, salah satunya dalam menetapkan besaran insentif yang diberikan. Pemerintah daerah tentu perlu meneliti besaran insentif yang diberikan untuk menambah pendapatan anggota badan ad hoc tersebut.

Honorarium yang diberikan kepada anggota badan ad hoc berdasarkan keputusan Menteri Keuangan, menurut Alfiandri dan pengamat politik dari Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang Bismar Arianto, tidak melanggar aturan ketenagakerjaan. Anggota badan ad hoc, menurut mereka tidak sama seperti pekerja atau karyawan di perusahaan.

Besaran honorarium di bawah UMK tidak menjadi persoalan karena menjadi penyelenggara ad hoc bukan dalam konteks mencari pekerjaan, melainkan lebih pada dedikasi warga kepada negara.




Editor: Achmad Zaenal M


Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022