"Pancasila adalah dasar negara kita, meski itu bukan agama dan tidak untuk menggantikan agama; tapi Pancasila adalah substansi perintah Tuhan dalam agama karena Pancasila tidak bertentangan dengan kitab suci agama apa pun," kata Nurwakhid dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Nurwakhid mengatakan hal itu saat membuka dan memberikan vaksinasi ideologi kepada peserta Regenerasi Duta Damai Dunia Maya Regional Sulawesi Utara di Manado.
Selain Pancasila, lanjut Nurwakhid, bangsa Indonesia memiliki budaya dan kearifan lokal yang tidak dimiliki negara lain, seperti silaturahmi dan gotong royong. Itu dibuktikan dengan kehidupan masyarakat yang harmonis dalam keberagaman dengan dilandasi rasa toleransi tinggi antarumat beragama.
Baca juga: LPOI: Khilafah bukan solusi dari persoalan kebangsaan
Menurut dia, harmoni dalam keberagaman harus dipertahankan bahkan diperkuat untuk menciptakan kedamaian dan kerukunan. Kemudian, tambahnya, Indonesia juga memiliki organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan yang moderat.
"Pancasila, budaya dan kearifan lokal, dan ormas moderat inilah yang sedang dan akan terus dirusak oleh kelompok radikalisme dan terorisme," kata Nurwakhid.
Dia juga menjelaskan bahwa terorisme bukan tujuan akhir, tapi alat untuk mencapai tujuan sarana propaganda guna mencapai utamanya yaitu gerakan politik yang ingin mengambilalih kekuasaan, dan mendirikan negara agama menurut versi mereka dengan mendistorsi, memanipulasi, dan mempolitisasi agama.
"Jadi, terorisme itu hilirnya, hulunya radikalisme. Ini virus karena semua teroris pasti dijiwai radikalisme, meski mereka yang terpapar radikalisme tidak mesti jadi terorisme,” kata mantan kepala bagian Ops Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri itu.
Baca juga: BNPT komitmen cegah dan berantas pendanaan terorisme
Dalam kesempatan itu, ia juga memberikan pemahaman para peserta tentang apa itu radikalisme. Dia menjelaskan bahwa radikalisme adalah paham anti-Pancasila, anti- Bhinneka Tunggal Ika, anti-NKRI, dan anti-UUD 1945.
Berawal dari terpapar radikalisme, para pelaku teror akan kecewa, frustasi, dendam, dan benci, hingga berujung dengan melakukan aksi terorisme.
"Mereka memecah belah umat, memunculkan fobia, kalau dibiarkan akan menimbulkan konflik. Sebelum terjadi konflik, biasanya didahului maraknya radikalisme mengatasnamakan agama dan berkolaborasi dengan pihak anti-pemerintah yang sah dan asing. Ini namanya neo-kolonialisme atau bentuk baru yaitu, proxy war, dan proxy ideology," ujar Nurwakhid.
Baca juga: Indonesia dan Kanada jalin kerja sama penanggulangan terorisme
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022