Jakarta (ANTARA) - Gempa bumi yang melanda Cianjur dan sekitarnya menambah panjang deretan tragedi bencana alam yang kerap menghampiri Tanah Air kita. Bahkan, bila merujuk data yang dirilis BPBD Cianjur per tadi malam, terdapat 162 orang meninggal dunia, 326 warga luka-luka serta 13.784 orang mengungsi yang tersebar di 14 titik. Jumlah tersebut sangat fantastis, di mana sebagian besar dari korban adalah anak anak yang sedang melakukan kegiatan belajar, baik di sekolah maupun madrasah.
Tentunya dengan melihat jumlah korban menjadi tanda bahwa kita belum siap menjadi masyarakat yang sadar dan sigap akan bahaya bencana alam. Meskipun kejadian bencana alam merupakan suatu hal yang tak bisa diprediksi kapan datangnya, apalagi gempa bumi merupakan fenomena alam yang tidak dapat dihindari, dan tidak dapat dicegah. Gempa bumi hingga saat ini belum dapat diprediksi secara akurat, meskipun telah banyak penelitian mengenai prekursor gempa bumi.
Bahkan, bila melihat kondisi geografis wilayah Cianjur yang dilalui oleh sesar Cimandiri perlu adanya kewaspadaan dari masyarakat dan kesiapan pemerintah dalam memitigasi setiap bencana yang hadir. Sesar Cimandiri itu sendiri bila merujuk salah satu jurnal yang terbitkan Universitas Gajah Mada, merupakan sesar aktif di Jawa Barat dengan arah orientasi timur laut barat daya.
Dan yang lebih mencengangkan lagi sesar ini telah menyebabkan beberapa gempa bumi, seperti Gempa Pelabuhan Ratu (1900), Gempa Padalarang (1910), Gempa Conggeang (1948), Gempa Tanjungsari (1972), Gempa Cibadak (1973), Gempa Gandasoli (1982) dan Gempa Sukabumi (2001). Tentunya banyak masyarakat awam yang belum mengetahui terkait informasi ini.
Apalagi dalam melihat Indonesia yang merupakan daerah rawan gempa bumi karena dilalui oleh jalur pertemuan 3 lempeng tektonik, yakni Lempeng Indo Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Tentunya menjadi warning bagi kita semua untuk selalu siap siaga dalam menghadapi setiap bencana.
Mengingat dampak bencana alam yang secara masif dapat merugikan secara ekonomi maupun keselamatan manusia dan merupakan salah satu
ancaman nyata terhadap ketahanan nasional suatu bangsa. Sehingga salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk pengurangan risiko bencana adalah dengan mengetahui budaya yang ada di masyarakat, kerentanan, dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana.
Tentu kita bisa belajar dari Jepang, sebagai sama-sama negara yang rawan akan bencana alam, khususnya gempa maupun tsunami. Lalu kenapa di Jepang rawan bencana? Karena gempa yang kerap terjadi di Jepang disebabkan oleh letak geografisnya yang berada di area Cincin Api Pacific. Wilayah ini dilalui oleh lempengan api di bawah permukaan Bumi.
Atas kondisi tersebut Pemerintah Jepang menjadi yang terdepan dalam menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami dengan memberikan pelatihan dan ilmu pengetahuan tentang gempa dan tsunami, yang menjadikan Negara Jepang maju dalam mengantisipasi bencana, khususnya gempa bumi dan Tsunami.
Selain itu Pemerintah Jepang juga membangun legacy yang kuat sebagai dasar penanggulangan bencana dengan mengesahkan Disaster Countermeasures Basic Act sebagai undang-undang dasar dalam penanggulangan bencana, yang mengatur tindakan dasar sehubungan dengan penanggulangan bencana secara nasional.
Selain itu masyarakat Jepang juga memiliki andil yang sangat luar biasa dengan semangat ganbarou-nya untuk meminimalisir dampak yang terjadi ketika bencana, seperti kerugian materiil dan jatuhnya korban jiwa.
Tentu kita juga ingat pada 11 Maret 2011 silam di pantai Samudera Pasifik, tepatnya wilayah Tohoku, terjadi gempa bumi dengan kekuatan 9.0 SR diikuti Tsunami yang memorak-porandakan wilayah Tohoku. Namun Jepang berhasil bangkit dari keterpurukan dan tidak memerlukan waktu yang lama dalam melakukan pemulihan pasca-bencana.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sebenarnya sudah cukup baik belajar dari pengalaman. Tepatnya pasca-Tsunami Aceh 2002 silam, yang akhirnya melahirkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, sebagai bukti konkret memperkuat legacy dalam hal penanggulangan bencana. Meskipun selama ini masih terfokus pada penanggulangan pasca-bencananya. Belum masuk ke dalam deteksi dini untuk mengantisipasinya.
Hal tersebut terlihat dari setiap bencana yang terjadi, kita masih gugup dalam menghadapinya. Padahal dengan kondisi wilayah Indonesia yang rentan akan bencana malam, perlu adanya sinergitas antarelemen bangsa, khususnya peran pemerintah dalam membangun kesadaran masyarakat akan bahaya bencana.
Di sisi lain masyarakat kita juga memiliki karakteristik yang seakan pasrah, atau istilah bahasa jawanya nrimo ing pandum atau pasrah terhadap keadaan. Selain itu secara teknologi dalam mendeteksi bencana alam, seperti gempa maupun tsunami, masih belum memadai.
Padahal secara hakikatnya ketahanan nasional merupakan kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara. Bagaimana suatu bangsa memiliki ketangguhan dalam mengatasi masalah bencana alam. Sehingga apabila kondisi seperti ini masih terjadi, ketika kita tak siap menghadapi bencana. Tentunya setiap bencana yang muncul, semakin banyak menimbulkan korban dan kerugian ekonomi yang tak sedikit.
Oleh karena itu perlu adanya membangun rasa sense of crisis antarelemen bangsa, untuk mengantisipasi setiap bencana yang ada. Agar tidak kembali menimbulkan korban jiwa dan masyarakat yang dirugikan. Tentunya di sinilah peran penting pemerintah untuk membangun budaya yang responsif sebagai langkah dari early warning serta early detection untuk menghadapi setiap bencana yang ada.
*) Muhammad Sutisna adalah Co Founder Forum Intelektual Muda
Copyright © ANTARA 2022