Seharusnya, masyarakat simpan pinjam berbesar hati (atas adanya RUU PPSK) karena sekarang tidak didiskriminasi lagi

Jakarta (ANTARA) - Ekonom Universitas Gajah Mada Revrisond Baswir menyebutkan Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) seharusnya diterima oleh pelaku koperasi simpan pinjam (KSP).

Hal tersebut, menurut dia, disebabkan adanya pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap KSP yang membuat koperasi diperlakukan setara sebagaimana financial technology (fintech), perbankan, asuransi, dan semua yang bergerak di sektor keuangan.

"Seharusnya, masyarakat simpan pinjam berbesar hati (atas adanya RUU PPSK) karena sekarang tidak didiskriminasi lagi. Jadi, naik kelas, diperlakukan sama dengan badan hukum yang lain," ucapnya menjawab ANTARA di Jakarta, Selasa.

Adanya pengawasan OJK hanya untuk koperasi yang bergerak di bidang keuangan, bukan untuk koperasi di bidang produksi dan konsumsi. Menurut Revrisond, sudah seharusnya OJK berkewajiban mengurusi seluruh usaha yang bergerak di sektor keuangan.

Di seluruh dunia, tidak ada pembedaan pengawasan otoritas keuangan terhadap koperasi dan bukan koperasi. Semuanya diperlakukan sama karena memiliki badan hukum dan bergerak di sektor keuangan.

Sejak OJK dibentuk, lanjut dia, seharusnya KSP diakomodir sebagaimana berbagai sektor lain yang bergerak di bidang keuangan. Karena itu, tidak heran jika terjadi problem seperti delapan KSP bermasalah yang merugikan negara puluhan triliun rupih karena sejak awal tidak dimasukkan dalam pengawasan OJK.

Menurut dia, apa yang perlu dipahami adalah koperasi berasal dari Eropa yang kemudian berkembang ke seluruh dunia.

Berbagai jaringan koperasi dari sejumlah negara akhirnya membentuk International Cooperative Alliance (ICA) guna menyatukan gerakan-gerakan koperasi di setiap negara agar terjadi keseragaman, terutama dalam cara memandang jati diri koperasi yang sejati. Namun, banyak yang menganggap koperasi asli dari Indonesia.

"Jadi, kalau mau bicara konsep koperasi, kita tinggal mengikuti saja perkembangan dunia (seperti) di ICA, di Inggris, di Prancis, di Jerman, di Skandinavia, di Jepang, dan di Singapura. Sebenarnya sederhana kan? (Akan tetapi), karena terlanjur menganggap koperasi asli Indonesia, lalu tidak mau menoleh (mencontoh negara-negara lain), sehingga (koperasi di Indonesia) jadi semacam miskin pengetahuan mengenai perkembangan koperasi di dunia," ungkap Revrisond.

Dampaknya ialah koperasi Indonesia dianggap setara dengan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), padahal koperasi memiliki potensi besar, bahkan berskala multinasional. Dalam arti, koperasi tidak hanya mampu mencapai level UMKM saja.

Dia mencontohkan beberapa koperasi yang berkembang menjadi perusahaan multi nasional, di antaranya koperasi asal Prancis seperti Crédit Agricole Group yang menjadi bank kedua terbesar di negara tersebut. Kemudian juga Rabobank di Belanda, Mondragon di Spanyol, dan Huawei di China.

Menimbang hal tersebut, dia mendorong pemerintah memperkaya pengetahuan masyarakat mengenai perkembangan koperasi di dunia internasional, dia turut melecut perluasan kerja sama dan pergaulan dengan koperasi internasional.

"Intinya, memperkaya pengetahuan mengenai perkembangan koperasi di dunia internasional, itulah yang paling mendasar. Marilah kita membuka diri untuk mengetahui perkembangan koperasi di dunia internasional, jangan terus-menerus terjebak dalam mitos seolah-olah koperasi itu asli Indonesia, (sehingga) tak perlu mendengar ICA, atau menoleh ke negara-negara Skandinavia, Inggris," katanya.

Baca juga: Teten usul kompartemen khusus koperasi di OJK dalam RUU PPSK
Baca juga: Forum Koperasi Indonesia nilai RUU PPSK kikis jati diri perkoperasian
Baca juga: Teten ingin wujudkan kemandirian ekonomi pondok pesantren via koperasi

Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022