Jakarta (ANTARA News) - Industri kayu lapis tidak boleh lagi menggunakan kayu dari areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) hutan alam mulai 2014 dan industri plywood harus mengganti bahan bakunya dengan kayu dari Hutan Tanaman Industri (HTI). "Bahan baku kayu dari hutan alam nantinya hanya digunakan untuk produksi yang memiliki nilai tambah tinggi. Kebutuhan bahan baku untuk produksi kayu lapis diharapkan dapat disubstitusi dari HTI," kata Sekjen Dephut Boen Purnama di sela penyarahan dokumen anggaran GN-RHL perpanjangan tahap II tahun 2005 di Jakarta, Kamis. Saat ini, menurut dia, industri kayu lapis masih boros dalam menggunakan kayu dari hutan alam. Selain itu, produk kayu lapis tersebut di negara tujuan ekspor hanya digunakan untuk menahan konstruksi beton. "Itu sayang karena seharusnya kayu dari HPH yang termasuk jenis tanaman kayu keras ini dapat digunakan untuk memproduksi barang dengan nilai tambah lebih tinggi. Kita harapkan HTI bisa memasok kebutuhan industri kayu lapis pada 2014 untuk menggantikan kayu dari HPH," katanya. Di sisi lain, kata Boen, industri kayu lapis sendiri tentu harus melakukan penyesuaian. Jika biasanya mesin mereka hanya dapat mengolah kayu besar, maka kini juga harus mampu mengolah kayu dengan diameter kecil secara efisien. Sebelumnya, Menteri Kehutanan MS Kaban, menyatakan departemen kehutanan menargetkan pembangunan HTI seluas lima juta hektar sampai 2009. Saat ini realisasi penanaman HTI sampai 2005 diperkirakan sudah mencapai 2,5 juta hektar. Sementara itu, beberapa industri kayu lapis di luar Jawa sudah banyak menutup pabriknya karena kekurangan bahan baku kayu dari hutan alam. Selain potensi tegakan yang semakin menurun, seretnya pasokan kayu ini juga disebabkan oleh tertahannya pasokan bahan baku dari HPH resmi akibat operasi hutan lestari (OHL) yang gencar dilakukan aparat kepolisian dan departemen kehutanan. Padahal, Menhut untuk tahun 2006 sudah menaikkan jatah produksi tebangan (JPT) menjadi 8,1 juta meter kubik dari tahun sebelumnya sebesar 5,6 juta meter kubik. Dana Pendamping Menyangkut GN-RHL, Sekjen Dephut, mengatakan, pemerintah daerah dapat meingkatkan jumlah dana pendamping untuk gerakan penanaman ini. Selama ini, Dana Alokasi Khusus (DAK) dari penerimaan Dana Reboisasi (DR) yang diserahkan ke daerah tidak semuanya digunakan untuk merehabilitasi lahan kritis atau penghijauan. Karena itu, katanya, "Kita mengharapkan pemerintah daearah di tingkat provinsi atau kabupaten dan kotamadya mau meningkatkan dana pendamping untuk GN-RHL." Diakuinya selama ini dana GN-RHL berasal dari bunga Dana Reboisasi yang ada di rekening pemerintah dan jumlahnya tidak mencukupi untuk melakukan rehabilitasi dalam cakupan areal yang luas. Karena itu, gerakan moral ini juga harus diimbangi dengan inisiatif dari masyarakat maupun investasi untuk kegiatan pembangunan hutan. Sementara itu, Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Darori, mengatakan, pihaknya ingin dana penyertaan GN-RHL dari daerah mencapai 10 persen dari total dana GN-RHL untuk daerah tersebut. Pada kesempatan itu, Sekjen Dephut menyerahkan dokumen anggaran DIPA GN-RHL tahap II tahun 2005 sebesar Rp988.257.361.000 kepada 68 unit pelayanan terpadu (UPT) Departemen Kehutanan, 33 provinsi, 419 kabupaten/kota untuk rehabilitasi areal seluas 600.000 hektar di 149 Daerah Aliaran Sungai (DAS). Sementara itu, luas hutan dan lahan kritis yang harus direhabilitasi kini mencapai 59 juta hektar.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006