Manado, Sulawesi Utara (ANTARA) - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga menyatakan bahwa tidak bisa menyamaratakan cara mengentaskan kekerasan seksual di seluruh daerah Indonesia.
“Dengan ribuan pulau dan beraneka agama serta suku dan budaya di dalamnya, tidak bisa kita sama ratakan perlakuan atau kebijakan di seantero Nusantara yang sangat amat luas,” kata Bintang dalam acara Sehari Menjadi Menteri PPPA di Manado, Sulawesi Utara, Sabtu.
Bintang menekankan setiap daerah memiliki karakteristik budaya yang mengakar seperti patriarki dalam masyarakatnya dan jenis penyebab timbulnya permasalahan kekerasan seksual yang berbeda-beda.
Terkadang dalam menyosialisasikan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah, masyarakat di suatu daerah tidak serta merta bisa langsung menerima atau mempraktikkannya. Beberapa kali juga terjadi pengabaian karena dirasa tidak sejalan dengan adat yang ada.
Dalam hal perkawinan anak misalnya, Bintang turut mengaku menyayangkan masih ada daerah yang merayakan pesta secara besar-besaran, dimana tidak ada kesempatan bagi anak dan perempuan untuk berbicara mengutarakan perasaannya.
Meskipun di daerah lainnya seperti Kabupaten Bone, sudah bisa menihilkan angka perkawinan anak apapun jenis penyebabnya, melalui sinergi dan berbagai program yang diterapkan dengan baik oleh pemerintah setempat.
Oleh karenanya, keterlibatan bersama tokoh agama dan tokoh adat menjadi kunci kesuksesan penyebaran tujuan-tujuan baik yang tertuang dalam kebijakan pemerintah.
KPPPA sendiri dalam membantu anak dan perempuan mendapatkan haknya, berupaya dengan mendorong kebijakan yang ramah perempuan dan anak seperti adanya kehadiran program Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA). Hal lain yang dilakukan adalah dengan menandatangani MOU bersama pemerintah daerah, kepala desa, MUI sampai ke imam desa dan kelurahan.
KPPPA juga mendorong agar keterlibatan semua pihak yang ada di tingkat desa mulai dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (musrenbangdes) sampai ke pemerintah daerah provinsi dan daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) untuk memberikan perlindungan, pendampingan serta pemberdayaan pada tiap anak.
“Makanya, akan menjadi sangat penting strategi dari akar rumput ini yang disesuaikan dengan akar budaya di daerah setempat. Saya yakini itu akan bisa selesaikan,” katanya.
Bintang menekankan, walaupun sinergi dan kolaborasi sangat diperlukan dalam menghadapi berbagai tindak kekerasan seksual, keterlibatan suara anak untuk menyelamatkan sesama tetap menjadi kunci utama dalam menghadapi masalah tersebut.
Sebab, kata Bintang, anak merupakan pihak yang paling mengetahui duduk permasalahan serta solusi yang bisa memenuhi hak-hak mereka, baik hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak mendapatkan perlindungan serta hak untuk berpartisipasi.
“Kalau ada yang kawin di usia anak, para pejabat tidak boleh menghadirinya. Sanksi sosial akan lebih dimengerti mereka, sehingga mereka akan malu. Ini memang membutuhkan pendekatan satu per satu dan membutuhkan komitmen bersama,” ujar Bintang.
Baca juga: Pemerintah cegah perkawinan anak untuk turunkan risiko stunting
Baca juga: KPPPA ajak masyarakat hentikan KDRT lindungi perempuan dan anak
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022