Mataram (ANTARA) - Tim gabungan memastikan bahwa penyu yang ditemukan mati mengambang di pesisir pantai Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 12 November 2022, bukan disebabkan karena riset yang dilakukan terhadap biota karismatik tersebut.
"Berdasarkan identifikasi yang dilakukan, tidak ditemukan adanya tanda-tanda bahwa kematian disebabkan oleh alat yang dipasang. Justru, ada faktor kemungkinan lain yang menyebabkan kematian ini," kata Mustanadi, anggota tim gabungan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) NTB, melalui keterangan resmi di Mataram, Jumat.
Selain BKSDA NTB, tim gabungan yang melakukan identifikasi dan investigasi kematian penyu, yakni Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang Wilayah Kerja Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra (Meno, Air dan Trawangan), kelompok sadar wisata, perwakilan masyarakat dan tim Coremap-CTI GP2.
Mereka melakukan identifikasi dan investigasi di lapangan pada 17 November 2022.
Baca juga: Garuda Bantu Konservasi Penyu di Gili Trawangan
Anggota tim gabungan dari BKKPN Kupang Wilayah Kerja TWP Gili Matra, Lalu Adradjatun menyebut beberapa tanda yang ditemukan mengerucut pada tiga hal, yaitu karena adanya sampah plastik yang terkonsumsi oleh penyu atau terkena potasium.
Tanda-tanda itu disimpulkan berdasarkan banyaknya jumlah sampah plastik yang ditemukan di permukaan, kolom dan di dasar perairan Gili Matra.
"Seringkali penyu keliru membedakan antara ubur-ubur dengan plastik," ujarnya.
Adradjatun juga menduga faktor usia jadi salah satu penyebab, karena panjang karapas penyu berukuran lebih dari 80 centimeter.
Project Coordinator Coremap-CTI, Gendewa menambahkan bahwa pada saat rilis, penyu tidak cukup semangat ketika berada di pasir dan berjalan ke laut, tidak seperti penyu lainnya.
"Kami harus mengangkat penyu sampai ke perairan sebelum penyu tersebut mulai berenang kembali," katanya.
Sementara berdasarkan temuan awal oleh masyarakat Gili Trawangan, mata penyu terlihat berlendir dan sedikit berbusa.
Keterangan dari salah seorang warga, penyu tersebut seperti terkena sianida dalam potasium di laut. Hal itu diduga masih terjadi dan ditemukan beberapa menggunakan kompresor untuk mencari ikan di perairan Gili Matra, berdasarkan keterangan masyarakat dan nelayan setempat.
Baca juga: Peneliti UNIPA: Populasi penyu di Tambrauw-Papua Barata meningkat
Berdasarkan identifikasi yang dilakukan, BKSDA NTB juga mengonfirmasi bahwa penyebab kematian penyu bukan berasal dari aktivitas pemasangan penandaan satelit yang dilakukan.
Untuk diketahui, Tim Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melalui program Coremap-CTI pada Grant Package 2 di Gili Matra, melakukan penelitian di Gili Matra, Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara.
Kegiatan dilakukan pada Agustus 2022, dengan memasang alat tagging satelite telemetry pada karapas penyu menggunakan standar kesejahteraan hewan dan kehati-hatian serta didampingi oleh dokter hewan yang berpengalaman dan memiliki rekam jejak yang baik pada penyu, yakni drh I Made Jaya Ratha.
"Penelitian tersebut bertujuan untuk memantau pergerakan dan persebaran penyu yang berada di perairan Gili Matra, sehingga kita dapat mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh pada pergerakan penyu, mulai dari kebiasaan, arah pergerakan dan lain sebagainya," kata Marine Biologist Turtle Specialist Coremap-CTI, Muhammad Soimin.
Melalui data tersebut, kata dia, harapannya dapat memberikan rekomendasi teknis terkait dengan pengelolaan kawasan yang lebih memiliki perspektif kesejahteraan hewan, dalam hal ini biota karismatik penyu.
Melalui rekomendasi yang diberikan sekaligus memberikan dampak secara signifikan terhadap keberlanjutan ekosistem pendukung bagi kehidupan penyu di Gili Matra.
Ia mengatakan beberapa unggahan di sosial media mulai dari 12 November 2022, terkait ditemukannya penyu mati dengan alat penandaan masih menempel pada karapasnya membuat banyak statemen yang menganggap penelitian yang dilakukan justru mengakibatkan kematian pada penyu.
Hal itu ditandai dengan beberapa statemen yang menganggap alat penandaan dipasang dengan melakukan pengeboran pada karapas penyu dan terlihat noda merah (yang dianggap darah) di sekitar alat penandaan.
"Pemasangan penandaan mengikuti panduan dan proses dilakukan sesuai dengan kesejahteraan hewan, sehingga tidak membahayakan hewan yang bersangkutan. Sebelumnya kami melakukan sosialisasi dan edukasi untuk kegiatan ini kepada kelompok masyarakat, dive operator, pemerintah desa, dan pelaku wisata lainnya," ucap Soimin.
Baca juga: 150 tukik dilepas di Pantai Biaung Denpasar pada peringatan HUT RI
Baca juga: Mencegah penyu dari ancaman kepunahan
Ia menjelaskan pemasangan diawali dengan membersihkan karapas dari marine fouling dan alga yang menempel, setelah dipastikan dalam kondisi kering, baru menempelkan alat penandaan dengan perekat khusus yang ramah lingkungan.
"Jadi, tidak ada pengeboran yang dilakukan, justru jika penyu yang ditandai mengalami luka, kami obati terlebih dahulu," ujarnya.
Setelah terpasang, lanjutnya, alat penanda dan sekitarnya diberikan antifouling yang berwarna merah untuk menghindari tumbuhnya alga dan marine fouling dan tidak menghalangi transmisi signal telemetry.
Antifouling yang dipilih juga sesuai dengan standar kesejahteraan hewan dan ramah lingkungan, sehingga tidak mencemari ekosistem laut dan tidak berdampak pada penyu.
"Warna merah itulah yang sepertinya dianggap sebagai bercak darah akibat pengeboran yang dilakukan," kata Soimin.
Pewarta: Awaludin
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022