Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis penyakit dalam konsultan penyakit tropik dan infeksi Robert Sinto mengatakan bahwa usaha pengendalian resistensi antimikroba merupakan proyek atau tanggung jawab bersama yang perlu dilakukan oleh semua unsur lapisan masyarakat.

“Kenapa ini menjadi proyek bersama, karena memang ini menjadi tanggung jawab kita bersama, dari tenaga medis, pemangku kepentingan maupun masyarakat,” kata dokter dari RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) itu dalam bincang virtual menjelang Pekan Kesadaran Antimikroba Sedunia (World Antimicrobial Awareness Week) yang diperingati setiap 18-24 November di Jakarta, Kamis.

Sebagai informasi, Pekan Kesadaran Antimikroba Sedunia dicanangkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2015 dan pada tahun ini mengambil tema Preventing Antimicrobial Resistance Together.

Baca juga: G20 tekankan pentingnya Kesehatan Terpadu atasi resistensi antimikroba

Robert mengatakan hari peringatan tersebut sebetulnya didasari pada kesadaran atas meningkatnya laporan resistensi atau kekebalan terhadap antimikroba.

Antimikroba terbagi menjadi empat jenis, yaitu antibakteri atau antibiotik, antivirus, antiparasit, dan antijamur yang masing-masing hanya efektif jika penggunaannya sesuai dengan jenis infeksi yang diderita pasien.

“(Dengan adanya resistensi), artinya banyak penyakit yang sebelumnya bisa ditangani dengan antibiotik yang ada, sekarang menjadi tidak bisa ditangani karena dia menjadi kebal,” kata Robert.

Dia mengatakan bahwa resistensi antimikroba telah menjadi “silent pandemic”. Oleh sebab itu, WHO berusaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dunia dengan minimal ada satu minggu yang didedikasikan dalam satu tahun untuk bisa merefleksikan apa yang sudah dilakukan dan apa yang perlu diperbaiki dalam upaya mencegah resistensi antimikroba.

Robert mengingatkan bahwa saat ini penggunaan antibiotik tidak terbatas dalam cakupan medis atau rumah sakit saja yang diperuntukkan sebagai pengobatan manusia. Di luar hal itu, sektor kesehatan hewan pun menggunakan antibiotik. Bahkan, terdapat peternakan yang secara abusif menggunakan antibiotik.

Baca juga: WHO: Cermati resistensi antimikroba hindari penyakit sulit diobati

“Ada penelitian yang menunjukkan kandungan antibiotik, artinya limbah-limbah antibiotik itu sampai ke laut. Bayangkan laut itu kan ada ikan, dan hewan-hewan laut itu juga mengonsumsi dalam tanda kutip antibiotik, dan dia berputar lagi, kita makan hewan laut yang mengandung antibiotik,” kata dia.

Robert menjelaskan WHO membatasi penggunaan antibiotik melalui upaya klasifikasi tiga kelompok antibiotik, yaitu access, watch, dan reserve atau disingkat “aware”.

Melalui klasifikasi itu, WHO mendorong penggunaan antibiotik di lini pengobatan pertama atau kategori access, sementara antibiotik kategori watch dan reserve dibatasi penggunaannya secara ketat.

“Dunia memiliki target 60 persen konsumsi itu ada di tingkat access. Jadi, kita melimitasi penggunaan untuk yang watch dan untuk yang reserve,” kata dia.

Dia menjelaskan bahwa klasifikasi tersebut dibuat agar antibiotik tidak secara bebas digunakan masyarakat. Klasifikasi itu juga bertujuan agar masyarakat, termasuk tenaga kesehatan, menjadi lebih berpikir apakah dalam kasus tertentu pemberian antibiotik benar-benar dibutuhkan atau tidak.

Baca juga: Kemenkes: Resistensi antimikroba jadi pandemi senyap ancam dunia

Baca juga: Pertemuan G20 AMR sorot pengaruh antimikroba pada kekebalan infeksi

Robert mengandaikan antibiotik sebagai suatu warisan pengobatan yang dihasilkan dari penemuan ilmuwan-ilmuwan sebelumnya. Berkat peran antibiotik dalam mengobati infeksi bakteri, angka kehidupan manusia kini dapat meningkat.

Dengan kesadaran bahwa hidup juga penting untuk generasi mendatang, masyarakat harus harus bersama-sama berusaha untuk mencegah resistensi antimikroba dengan perannya masing-masing.

“Kalau kita tidak wariskan dengan bijak, mungkin keturunan kita yang hanya sakit infeksi sederhana saja menjadi bisa fatal karena tidak ada antibiotik yang bisa lagi untuk mengobati infeksi-infeksi sederhana tersebut,” kata Robert.

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022