Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menyebutkan, penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) masih melakukan perhitungan terkait dugaan kerugian negara dalam perkara korupsi menara BTS Kominfo.
“Sampai saat ini untuk dugaan kerugian masih perhitungan dari teman-teman penyidik sekitar Rp1 triliun dari jumlah Rp 10 triliun (nilai kontrak),” kata Ketut di Jakarta, Rabu.
Menurut Ketut, dugaan nilai kerugian itu bisa terus bertambah dan bisa juga berkurang, karena perhitungan masih terus dilakukan oleh penyidik bersama-sama auditor dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Baca juga: Pakar hukum: Percayai Kejagung tangani perkara korupsi BTS Kominfo
“Tapi ini (nilai kerugian) bisa berkembang, bisa bertambah dan juga berkurang, karena belum mendapat kerugian yang final dari teman-teman BPKP,” katanya.
Ia menyebutkan, penyidikan atas kasus ini terus berjalan, pemeriksaan saksi-saksi terus dilakukan oleh penyidik Jampidsus.
“Pemeriksaan saksi itu setiap tiga kali sekali dilakukan untuk menanggapi berkas perkara,” ujarnya.
Namun pemeriksaan itu belum pada tahap meminta klarifikasi ataupun keterangan dari pihak Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
“Belum sampai ke sana, tunggu saja nanti semuanya,” kata Ketut.
Hari ini penyidik memeriksa dua orang saksi dari pihak Kominfo. Saksi yang diperiksa yakni Kepala Biro Perencanaan Kominfo berinisial ASL, dan Kepala Divisi Hukum BAKTI (Wakil Ketua Pokja Pengadaan Penyedia).
Sehari sebelumnya, Selasa (15/11), tiga orang saksi diperiksa. Mereka adalah, Direktur Layanan Telekomunikasi dan Informasi Untuk Masyarakat dan Pemerintah berinisial DJ, Direktur Keuangan Badan Aksesbilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) inisial AD dan Karyawan Human Develompment Universitas Indonesia berinisial IKS.
“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara tersebut,” kata Ketut.
Pada Rabu (3/11), Penyidik Gedung Bundar memutuskan untuk meningkatkan status penanganan perkara dugaan rasuah proyek penyediaan infrastruktur base transceiver station atau BTS di Kominfo ke tahap penyidikan.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung Kuntadi menyebutkan, keputusan untuk meningkatkan kasus penanganan perkara ke tahap penyidikan dilakukan setelah penyidik melakukan gelar perkara dan memeriksa sekitar 60 orang saksi pada tahap penyelidikan.
“Berdasarkan hasil ekspos tersebut ditetapkan, diputuskan telah terdapat alat bukti yang cukup untuk ditingkatkan penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam penyediaan infrastruktur BTS dan infrastruktur pendukung Paket 1,2,3,4 dan 5 BAKTI Kominfo tahun 2020 sampai dengan 2022,” kata Kuntadi.
Kuntadi mengatakan penyidik juga telah melakukan kegiatan penggeledahan di lima tempat yang diduga terkait dengan tindak pidana dimaksud, yakni kantor PT Fiberhome Technologies Indonesia, PT Aplikanusa Lintasarta, PT Infrastruktur Bisnis Sejahtera, PT Sansasine Exindo, PT Moratelindo, PT Excelsia Mitraniaga Mandiri, dan PT ZTE Indonesia.
“Hasil penggeledahan telah ditemukan dokumen-dokumen penting yang terkait dengan penanganan perkara tersebut dan sedang kami pelajari, dan kami dalami,” ujar Kuntadi.
Ia menyebutkan, lima paket proyek yang ditangani Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo itu berada di wilayah 3T, yakni terluar, tertinggal dan terpencil, seperti Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan NTT.
“Untuk wilayahnya meliputi wilayah Indonesia terluar, tertinggal, pokoknya ter ter ter terpencil. Di Papua ada, Sulawesi, Kalimantan ada, di Sumatra, di NTT ada. Kemudian BTS itu ada sekian ribu titik,” kata Kuntadi.
Berdasarkan hasil penelusuran, proyek tersebut diinisiasi sejak akhir 2020 terbagi atas dua tahap dengan target menyentuh 7.904 titik blanckspot serta 3T hingga 2023. Tahap pertama, BTS berdiri ditargetkan di 4.200 lokasi rampung di tahun 2022 dan sisanya diselesaikan tahun 2023.
Baca juga: Kejagung tingkatkan status perkara BAKTI Kominfo ke tahap penyidikan
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2022