Jakarta (ANTARA News) - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Hamid Awaluddin kembali diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pengadaan surat suara Pemilu Presiden putaran I dan II 2004 dalam kapasitasnya sebagai Ketua Pencetakan Surat Suara. Seusai menjalani pemeriksaan sekitar empat jam di Gedung KPK, Jalan Veteran Jakarta, Rabu, Hamid mengatakan bahwa dirinya oleh penyidik KPK ditanya mengenai alasan menggunakan mekanisme penunjukkan langsung dalam pengadaan surat suara. "Saya jelaskan bahwa adalah tidak mungkin melakukan tender terbuka karena pemilihan Pilpres pertama pada 5 Juli 2004," katanya. Ia menjelaskan mekanisme penunjukan rekanan secara langsung karena keterbatasan waktu. Pemilu Legisatif dilaksanakan pada 4 April 2004, sedangkan masa pencalonan presiden pada minggu ketiga Mei 2004. "Praktis kita baru pada awal Juni mulai cetak dan sudah harus sampai di Kabupaten atau Kota pada 30 Juni 2004, sehingga distribusi dan produksi harus selesai pada minggu ketiga atau keempat Juni," tuturnya. Hamid mengatakan ia juga ditanya tentang mekanisme penunjukan langsung. Ia mengaku semua mekanisme penunjukan langsung melalui rapat pleno KPU. "Pasti melalui rapat pleno. Itu juga melalui rapat pleno bahwa pencetak-pencetak itu harus diseleksi," ujarnya. Menurut dia, rekanan yang ditunjuk adalah perusahaan percetakan yang lulus kualifikasi dan berpartisipasi dalam pengadaan barang dan jasa Pemilu Legislatif 2004. Ia mengatakan ada ratusan perusahaan yang diseleksi untuk pengadaan surat suara Pilpres I dan akhirnya menyusut menjadi 35 perusahaan. Jumlah itu pun akhirnya berkurang menjadi 18 perusahaan karena ada beberapa perusahaan pencetakan yang tidak diikutsertakan karena bermasalah pada Pemilu Legislatif 2004 seperti mengalami keterlambatan dan mensubkontrakkan pekerjaan. "Penentuan harga pun melalui proses yang panjang dan sempat deadlock," ujarnya. Dari harga cetak Rp100 per lembar yang diajukan oleh rekanan, KPU menawar menjadi Rp85 per lembar. Harga yang disepakati oleh kedua pihak akhirnya menjadi Rp95 per lembar. Harga yang disepakati itu, menurut Hamid, telah mempertimbangkan harga pasaran sekitar Rp100 per lembar. Nilai total proyek pencetakan surat suara Pilpres I untuk 148 juta lembar sekitar Rp14,06 miliar ditambah cadangan jumlah surat suara sebesar sepuluh persen. Sedangkan untuk Pilpres II, rekanan yang ditunjuk sebanyak 15 perusahaan dari 18 perusahaan yang mengerjakan surat suara Pilpres I, karena ada tiga perusahaan yang bermasalah. Harga yang disepakati untuk surat suara Pilpres II adalah Rp48 per lembar, dari yang diminta semula oleh rekanan Rp57 per lembar dan yang ditawar KPU Rp40 per lembar. Total nilai proyek pencetakan surat suara Pilpres II untuk 148 juta lembar adalah Rp7,1 miliar ditambah cadangan sebesar sepuluh persen. Hamid menjelaskan jumlah surat suara yang dikerjakan oleh setiap rekanan tidak sama karena memperhitungkan faktor geografis seperti kepulauan dan pegunungan yang akan menimbulkan masalah dalam distribusi. "Daerah Papua, Irjabar, Maluku, Maluku Utara, Pulau Nias dan Kepulauan Mentawai serta Aceh yang saat itu belum damai, diprioritaskan," katanya. Untuk itu, setiap rekanan mengerjakan untuk daerah yang berbeda. Seperti misalnya untuk daerah Indonesia bagian timur yang dikerjakan oleh rekanan PT Temprina yang berlokasi di Surabaya untuk mereduksi biaya distribusi dibanding bila dikerjakan oleh rekanan yang berlokasi di Jakarta. Hamid mengatakan dalam pemeriksaan, sama sekali tidak disinggung tentang kerugian negara dalam pencetakan surat suara Pilpres I dan II. "Tidak ada dibicarakan tentang kerugian negara. Hanya mekanisme saja," ujarnya. Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan pengusutan pencetakan surat suara Pilpres I dan II yang diketuai Hamid baru pada tahap penyelidikan. Ia belum mau mengungkapkan indikasi adanya tindak pidana korupsi maupun dugaan kerugian negara dalam pengadaan tersebut. "Saya tidak mau bicara indikasi, tetapi alat bukti. Kita sudah meminta keterangan dari beberapa orang, dalam rangka penyelidikan kita minta keterangan yang bersangkutan sebagai ketua panitia," demikian Tumpak.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006