Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan uji materil terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No 72 Tahun 2005 tentang Desa yang diajukan oleh kepala desa dan Persatuan Kepala Desa dan Perangkat Desa (Parade Nusantara). Putusan tersebut diambil dalam rapat musyawarah yang diketuai oleh hakim agung Muchsan dan beranggotakan Widayatno Sastrohardjono serta Imam Soebechi di Gedung MA, Jakarta, Selasa. Ketua majelis hakim Muchsan mengatakan permohonan uji materil yang diajukan terbagi dalam empat perkara, yaitu perkara nomor 9/P/HUM/2006 yang diajukan Ketua Parade Nusantara Sudir Santoso untuk menguji PP No 72 Tahun 2005 terhadap UU No 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Permohonan tersebut pada dasarnya untuk menguji larangan kepala desa menjadi pengurus partai politik yang tercantum dalam PP, sedangkan UU No 31 Tahun 2002 menyebutkan seluruh warga negara berhak untuk berkumpul, berserikat serta berpolitik. Perkara kedua yang diajukan bernomor 10/P/HUM/2006 diajukan oleh pemohon yang sama untuk menguji PP No 72 Tahun 2005 terhadap UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Permohonan yang diajukan tentang masa jabatan kepala desa. Untuk dua perkara itu, Muchsan menjelaskan, majelis hakim belum memeriksa pokok perkara dan baru pada tahap persyaratan formil. "Persyaratan formil tidak terpenuhi karena pemohon Sudir Santoso mengatasnamakan Ketua Persatuan Kepala Desa dan Perangkat Desa," katanya. Sesuai KUHAP, lanjut Muchsan, majelis hakim harus memeriksa apakah seseorang mencukupi persyaratan untuk mewakili lembaga dengan melampirkan akta pendirian lembaga, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) lembaga untuk menentukan apakah pemohon berhak untuk mewakili lembaga di muka pengadilan serta surat kuasa khusus dari lembaga kepada pemohon. "Ketiga syarat itu tidak ada. Tidak dilampirkan dalam permohonan sehingga kita tidak tahu apakah pemohon berhak untuk mewakili lembaga," ujar Muchsan. Karena itu, majelis hakim berpendapat pemohon tidak memiliki kepentingan dan dianggap tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Sedangkan permohonan ketiga dan keempat dengan nomor perkara 11/P/HUM/2006 dan 12/P/HUM/2006 diajukan oleh Budidoyo yang berstatus kepala desa. Perkara 11/P/HUM/2006 memohon uji materil yang sama dengan perkara 9/P/HUM/2006, yaitu PP No 72 Tahun 2005 terhadap UU No 31 Tahun 2002. Sedangkan permohonan No 12/P/HUM/2006 sama dengan materi nomor 10/P/HUM/2006 tentang uji materil PP 72 Tahun 2005 terhadap UU No 32 Tahun 2004. "Untuk perkara ketiga dan keempat, karena yang mengajukan adalah kepala desa maka kepentingannya terpenuhi. Karena syarat formilnya terpenuhi, maka majelis hakim masuk dalam materi permohonan," ujar Muchsan. Permohonan nomor 11/P/HUM/2006 menguji pasal 16 PP No 72 Tahun 2005 terhadap pasal 10,11 dan 13 UU No 31 Tahun 2002 tentang larangan kepala desa menjadi pengurus parpol. Majelis menolak permohonan tersebut atas pertimbangan bahwa kepala desa adalah perangkat negara yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Pada dasarnya hak untuk berserikat, berkumpul, dan berpolitik sudah diatur dalam PP No 72 Tahun 2005, namun sebatas sebagai anggota partai politik. "Semua warga negara boleh berpolitik, hanya PP 72 menyatakan kepala desa tidak boleh menjadi pengurus partai politik. Pembatasan ini secara teori biasanya berkaitan dengan kepentingan umum. Ini jadi dasar pertimbangan majelis hakim," jelas Muchsan. Berbeda dengan Presiden, Wakil Presiden, Menteri dan sebagainya yang tidak berhubungan langsung dengan masyarakat, Muchsan mengatakan kepala desa berhubungan langsung dengan masyarakat. Dan, karena kepala desa adalah pejabat negara yang terbawah, maka Presiden berwenang untuk membatasi hak kepala desa. "Ini adalah kebijakan publik dan MA tidak berhak menguji itu. Yang berhak menguji adalah eksekutif sendiri dalam bentuk `eksekutive review`. Maka MA menolak permohonan itu dari segi materi," kata Muchsan. Sedangkan untuk permohonan terakhir, yaitu PP No 72 Tahun 2005 terhadap UU No 32 Tahun 2004 tentang masa jabatan kepala desa, Muchsan mengatakan majelis menemukan kejanggalan dalam permohonan tersebut karena pasal yang diajukan dalam dua peraturan itu tidak ada relevansinya. Dalam UU No 32 Tahun 2004 diatur bahwa kepala desa memiliki masa jabatan enam tahun dan setelah itu dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan berikutnya. Sedangkan dalam PP No 72 Tahun 2005 diatur bahwa seorang calon kepala desa harus memenuhi syarat, salah satunya yaitu seorang calon harus belum pernah menjabat selama sepuluh tahun. "Di sini majelis hakim menemukan kejanggalan karena dua pasal yang diajukan mengatur hal yang berbeda. Yang satu mengatur calon kepala desa, sedang yang lain mengatur yang sudah menjabat," jelas Muchsan. Majelis hakim berpendapat materi yang diajukan tidak ada relevansinya dan karena itu majelis hakim menolak permohonan tersebut. Menurut Muchsan, keputusan untuk menolak keempat permohonan terebut diambil secara bulat oleh majelis hakim.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006