Palembang (ANTARA) - Dapur Le Panile Bakery di Lembaga Permasyarakatan Perempuan Palembang sekilas tampak baru. Ruangan masih berbau cat dan alat-alat masak pun masih mengkilap.

Pagi itu, Selasa (8/11), Yenny Anggraini (37), warga binaan permasyarakatan terlihat gesit membentuk adonan roti manis untuk memenuhi pesanan para penghuni Lapas.

Ia yang berpakaian lengkap layaknya koki tersenyum semringah karena kembali beraktivitas di dapur berukuran 5 x 5 meter itu setelah hampir dua pekan ditutup untuk direnovasi.

Tak hanya dicat, alat-alat masak yang usang pun diganti dengan yang baru setelah Lapas menerima bantuan dari Pertamina Patra Niaga Sumbagsel.

Saking gembiranya, sepanjang ia bekerja, sepanjang itu pula alunan musik koplo menemaninya. “Senanglah hari ini bisa buat roti lagi. Tahu sendiri di dalam, jenuhnya itu minta ampun. Beda kalo sudah di dapur ini jadi tidak terasa, tiba-tiba sore,” kata dia.

Yenny yang akrab dipanggil Boyen ini sebelumnya sempat bekerja di toko roti ternama di Kota Palembang kurang lebih tiga tahun.

Namun, lantaran terjerembab dalam kasus peredaran narkoba, ia pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pada 2017 divonis selama 13 tahun penjara.

Kini masa hukumannya tersisa 1,5 tahun setelah mendapatkan sejumlah remisi. Ibu satu anak ini pun berharap bisa mengecap kehidupan yang lebih baik setelah menghirup udara bebas.

“Ada kegamangan, apakah ada yang mau terima saya. Tapi saya percaya diri saja karena ada kemahiran buat roti ini. Berharap nanti bisa jadi sandaran hidup,” kata dia.

Setiap hari Boyen membuat setidaknya 30 buah kue beraneka rasa, berdasarkan pesanan warga binaan dengan harga jual Rp8.000-Rp10.000 per buah.

Biasanya, aktivitas dimulai sejak pukul 09.00 WIB hingga pukul 14.00 WIB yang diawali dengan membuat adonan. Setelah adonan disulap menjadi beragam bentuk, kemudian dimasukkan dalam alat pengembang roti selama 30 menit. Setelah itu, adonan tersebut dipanggang sekitar 20 menit.

Setelah roti itu matang, tahapan dilanjutkan pada pengemasan untuk kemudian dipasarkan ke penghuni Lapas.

Dua rekannya yang juga membantu seakan paham benar bahwa Boyen membutuhkan ruang sendiri saat membuat roti sehingga hanya berperan sebagai asisten.

Yensri Marlina (33), salah seorang warga binaan yang mendampingi Boyen mengatakan, meski dirinya sudah menemani dalam setahun terakhir, tetap sulit baginya untuk membuat roti yang sama lezatnya. “Jika saya yang buat, tidak selembut buatan Boyen,” kata dia.

Akan tetapi, di sisi lain Yensri mempunyai keunggulan dalam pembudidayaan tanaman sayuran hidroponik bersama tiga orang rekannya.

Ia pun mengakui piawai saat mengurus tanaman sehingga bayam dan sawit dapat tumbuh subur. “Jadi saya bisa dua keterampilan, bisa hidroponik, bisa juga buat roti. Saya berharap bisa berguna saat ke luar Lapas nanti,” kata Yensri yang masa hukumannya berakhir pada akhir Desember 2022.

Kepala Seksi Kegiatan Kerja Lapas Perempuan Palembang Assetia mengatakan adanya bantuan alat masak dari Pertamina ini setidaknya mengatasi persoalan dihadapi Lapas dalam memberdayakan warga binaan dengan total 573 orang yang 80 persen tersandung kasus narkoba.

Dapur ini sebenarnya sudah berdiri sejak 2013, namun pemanfaatannya tak berkesinambungan atau hanya dijadikan ruang untuk pelatihan saja.

Namun, dalam tiga tahun terakhir, dapur ini diaktifkan secara kontinyu walau sempat terhenti sejenak lantaran adanya pandemi COVID-19.

Dampak pandemi membuat alat masak mulai usang sehingga mengganggu proses produksi. Kondisi ini semakin terasa sejak adanya warga binaan yang benar-benar aktif berwirausaha secara mandiri di Lapas.

“Sempat kami masukkan air panas di lemari pengembang roti untuk membantu suhunya tetap hangat. Kini tidak lagi, karena sudah ada yang baru,” kata dia.

Lapas Perempuan Palembang kemudian mengajukan proposal ke Pertamina untuk meminta bantuan perbaikan dapur dan penggantian alat-alat masak.

Bantuan pun diberikan karena Pertamina sudah menjalankan program Gerakan Tanam Sayur (Gertas) pada 2020 di Lapas.

Yensri (paling kiri) bersama rekannya sesama warga binaan Lapas Perempuan Palembang mengurus tanaman hidroponik di Lapas Perempuan Palembang, Selasa (8/11). (ANTARA/Dolly Rosana)

Program menanam bayam dan sawi ini tergolong sukses, hanya saja Lapas dihadapkan kesulitan untuk memasarkan sayuran hidroponik tersebut karena harga jual yang relatif tinggi.

Pertamina pun memberikan solusi agar warga binaan membuat produk turunan berupa kue berbahan sayuran.

Ini juga yang melatari pemberian bantuan renovasi dapur dan penggantian alat-alat masak oleh Pertamina. Apalagi, Boyen dan rekan-rekannya telah membuktikan mampu memproduksi kue kering berbahan bayam merah.

“Pesanan waktu itu dari Pertamina sebanyak 300 buah cookies bayam. Dengan alat masak seadanya saja mereka mampu apalagi kini sudah baru semua, bedanya kini bisa lebih cepat dan produktivitas bisa lebih tinggi,” kata Assetia.

Perempuan mandiri

Kepandaian warga binaan membuat produk makanan turunan dari tanaman hidroponik ini diperoleh setelah mengikuti pelatihan bersama Kelompok Hidroponik Mariana, Banyuasin, yang juga binaan Pertamina.

Area Manager Communication, Relation & CSR Pertamina Regional Sumbagsel Tjahyo Nikho Indrawan mengatakan awalnya Pertamina menyasar kalangan ibu-ibu rumah tangga di pedesaan untuk menjalankan program Gertas.

Program kemandirian berbasis gender ini ternyata menuai kesuksesan karena berhasil membantu perekonomian para ibu-ibu anggota Kelompok Hidroponik Mariana, tepatnya di saat COVID-19 melanda.

Tak hanya itu, para ibu-ibu ini juga mampu berkreasi dengan melahirkan beragam produk turunan berbahan sayuran hidroponik seperti pempek, kue, keripik dan cookies (kue kering).

Berkaca dari keberhasilan ini, Pertamina pun memperluas ruang lingkup program ke kalangan perempuan rentan secara ekonomi dan sosial. Apalagi Pertamina memiliki visi dan misi untuk mendorong kesetaraan gender melalui beragam program pemberdayaan perempuan.

“Kami pun memilih Lapas Perempuan karena mereka masuk dalam golongan rentan, dalam artian jika tidak mandiri dikhawatirkan akan masuk lagi dalam lingkaran kriminalitas,” kata Nikho.

Program Gertas pun dijalankan Pertamina di Lapas Perempuan Palembang sejak 2020 untuk menggugah minat warga binaan bercocok tanam.

Setidaknya, Pertamina menyalurkan dana CSR hingga Rp600 juta untuk menjalankan program Gertas ini dalam dua tahun terakhir, baik di Palembang maupun Mariana (Kabupaten Banyuasin).

Untuk mengakselerasi program ini di Lapas, Pertamina mendatangkan penggiat hidroponik binaan Pertamina dari Kelompok Hidroponik Mariana, Rahmawati (30) menjadi instruktur bagi warga binaan.

Rahmawati merupakan sosok yang menginspirasi bagi Pertamina untuk meneruskan program Gertas ini ke Lapas Perempuan Palembang.

Di saat COVID-19 melanda pada 2019, Rahmawati menjadi ‘pejuang sayuran’ di kampungnya dengan menggerakkan ibu-ibu setempat untuk membantu perekonomian keluarga.

Kini, ia bersama kelompok usahanya itu terus berkembang dan mendapatkan bantuan sarana dan prasarana serta rumah produksi dari Pertamina.

Rahmawati kepada ANTARA mengatakan, ide melahirkan beragam produk turunan itu setelah dirinya mengalami kesulitan untuk memasarkan sayuran hidroponik di Mariana.

“Di sini (Mariana) harga kangkung Rp3.000 per ikat, sementara bayam merah hidroponik bisa Rp15 ribu per ikat. Akhirnya muncul ide buat pempek, kue kering, keripik berbahan sayuran. Ini yang kini saya ajarkan ke warga binaan,” kata Rahmawati.

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Selatan Harun Sulianto mengatakan bantuan dari Pertamina mulai dari pelatihan hingga sarana dan prasarana ini sangat bermanfaat bagi warga binaan.

Melalui program Gertas, Pertamina membuat para penghuni Lapas menyibukkan diri dengan kegiatan yang bermanfaat dan positif. Selain itu, kepandaian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mereka setelah kembali ke tengah masyarakat.

“Saya berharap setelah mereka (warga binaan) bebas dapat diterima masyarakat, dan jangan kembali lagi ke penjara,” kata Harun.

Oleh karena itu, Kemenkumham mengapresiasi dukungan Pertamina terhadap mantan penghuni Lapas Perempuan Palembang, Susi Etmisari (44), yang mendapatkan bantuan instalasi hidroponik dan sarana gerobak usaha makanan.

Menurutnya, tak mudah menjadi mantan narapidana karena adanya pelabelan yang buruk dari masyarakat. Dukungan seperti yang diberikan Pertamina ini sangat dinantikan mereka untuk bangkit dari keterpurukan.

“Artinya bantuan tak terhenti hanya di dalam Lapas. Pertamina juga membantu mantan narapidana yang mau berwirausaha melalui Balai Pemasyarakatan (Bapas),” kata Harun.

Susi Etmisari menjual jajanan pasar menggunakan gerobak bantuan dari Pertamina Patra Niaga di halaman rumahnya Lorong Aman, Plaju, Palembang, Kamis (10/11). ((ANTARA FOTO/Nova Wahyudi))

Susi yang diwawancarai ANTARA mengaku dirinya beruntung mendapatkan bantuan dari Pertamina itu karena saat di dalam Lapas sempat mengikuti pelatihan budi daya hidroponik dan pembuatan kue basah.

Semula ia sempat kebingungan selepas ke luar dari Lapas pada Februari 2022 dikarenakan tak memiliki pekerjaan, sementara sang suami masih mendekam di penjara.

“Kini saya sudah bisa jualan kue jajanan pasar, kalo tanaman hidroponik saat ini sudah lewati masa penyemaian dan mudah-mudahan dalam 1,5 bulan sudah bisa panen,” kata dia.

Ibu tiga anak ini mendapatkan bantuan lantaran berdomisili di kawasan Ring 1 Pertamina Plaju Palembang.

Ia yang mendekam di penjara selama 2,5 tahun karena terjerat kasus peredaran narkoba kini sudah mampu menghidupi keluarganya kembali.

“Dua anak sudah mandiri, tinggal satu orang lagi yang masih butuh biaya sekolah. Saya berharap usaha ini bisa langgeng,” kata dia.

Aktivis perempuan asal Sumatera Selatan Yenny Roslaini Izzi mengatakan program pelatihan dan keterampilan di Lapas tentunya memberikan dampak positif bagi warga binaan asalkan disesuaikan dengan minat dan bakat mereka.

"Penting untuk bertanya dulu ke mereka (warga binaan) mengenainya minatnya. Coba dibayangkan, jika tidak suka masak disuruh masak maka pelatihannya pun menjadi sia-sia," kata dia.

Selain itu, jika program berbasis perempuan ini ingin berhasil maka harus dilakukan sepenuh hati atau tak setengah-setengah agar warga binaan tidak masuk kembali ke dalam lingkaran kriminal.

"Seperti yang dilakukan Pertamina pasca pelatihan dengan memberikan bantuan sarana dan prasarana usaha. Ini baik sekali, karena jika hanya diberikan kapasitas tanpa diberikan modal usaha maka juga sia-sia," kata aktivitas yang sempat berkecimpung di Women Crisis Center ini.

Boyen dan Yensri membuktikan bahwa semangat untuk hidup lebih baik itu tetap menyala meski terkurung di balik jeruji besi.

Demikian juga dengan Susi, yang mesti menyandang status mantan narapidana tapi ia mampu membuktikan dapat bangkit dari keterpurukan berkat adanya keterampilan.

Raga boleh saja terkungkung di penjara tapi bukan berarti dapat memadamkan asa dan harapan. Melalui balik jeruji penjara mereka menata kembali masa depannya.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022