“Ini seperti lagu lama yang selalu diputar di penghujung tahun. Apapun regulasi pengendalian tembakau, bantahannya selalu petani tembakau," ujar Project Lead for Tobacco Control CISDI Iman Mahaputra Zein dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, banyak pihak yang lupa banyaknya beban biaya akibat penyakit terkait merokok maupun kerugian non-finansial lainnya yang harus ditanggung keluarga hingga negara. Padahal, perkara petani tak lain akibat cuaca dan tata niaga, dimana mereka tidak merdeka dalam menentukan harga.
Per 3 November 2022, pemerintah memutuskan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok mencapai 10 persen pada 2023 dan 2024. Kenaikan tarif CHT pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT) akan berbeda sesuai dengan golongannya.
CISDI mengapresiasi keputusan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang kembali menaikkan cukai tembakau untuk tahun 2023 dan 2024. Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan berbagai aspek, seperti pengendalian konsumsi, kesehatan populasi, hingga kesejahteraan keluarga.
“Kebijakan ini setidaknya memberikan kita kepastian kenaikan tarif cukai pada tahun politik, tidak seperti dua pemilu sebelumnya yang tidak ada kenaikan sama sekali,” ucap dia.
Meski begitu, Iman menilai pemerintah seharusnya bisa menargetkan kenaikan cukai lebih tinggi karena berdasarkan kajian CISDI bersama Teguh Dartanto dari Universitas Indonesia, kenaikan cukai rokok hingga 45 persen masih aman untuk ekonomi Indonesia.
Bahkan, kenaikan hingga 45 persen dapat membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia melalui penurunan konsumsi rokok, terbukanya ketersediaan lapangan kerja baru, dan peningkatan pendapatan negara.
Terlebih, porsi belanja tembakau rumah tangga perokok lebih tinggi dari porsi belanja protein dan makanan bergizi lainnya. Hal tersebut melandasi keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau tahun ini.
Dia mengungkapkan hasil riset CISDI juga menemukan 6 dari 10 rumah tangga Indonesia memiliki pos belanja untuk rokok dan produk tembakau lainnya, dimana rumah tangga perokok tersebut mengalokasikan rata-rata 11 persen dari total pengeluaran rumah tangganya untuk tembakau.
“Porsi belanja rokok rumah tangga Indonesia lebih besar daripada negara lain yang memiliki populasi perokok yang signifikan seperti Tiongkok 6,5 persen dan India 2,9 persen," tutur Iman.
Saat ini, sambung dia, terdapat 7,5 juta sampai 8,8 juta orang di Indonesia yang memiliki belanja kebutuhan esensial bernilai sama dengan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, namun tidak terdeteksi sebagai orang miskin akibat belanja tembakau yang menggelembung.
Baca juga: Sri Mulyani: Pemerintah naikkan tarif cukai rokok 10 persen pada 2023
Baca juga: Pakar: Sederhanakan golongan cukai rokok demi kesehatan masyarakat
Baca juga: Komnas Pengendalian Tembakau minta kenaikan cukai rokok lebih tinggi
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022