Mahasiswa dan dosen sebagai insan kampus adalah pemilih rasional yang sangat besar untuk menjadi penyumbang suara dalam pemilu.

Jakarta (ANTARA) - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Sri Hastuti Puspitasari berpendapat kampanye di kampus dapat menjadi wadah menjaring ide-ide cerdas bagi program-program ataupun kebijakan publik demi kemajuan Indonesia.

"Dari kampanye di kampus, banyak ide yang cerdas dan cemerlang yang itu bisa digunakan oleh partai politik, oleh kandidat, dan pasangan calon untuk mengemas program-program tertentu," ujar Sri Hastuti Puspitasari saat menjadi narasumber dalam seminar nasional bertajuk Menyongsong Pemilu Serentak 2024, sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia di Jakarta, Selasa.

Selain itu, kata Sri Hastuti, kampanye di kampus juga dapat menjadi sarana pendidikan politik, terutama bagi para mahasiswa. Selain itu, dapat menjadi sarana bagi kandidat dalam kontestasi pemilu untuk melakukan sosialisasi politik di kalangan komunitas terdidik.

Sri menegaskan bahwa kampus itu adalah komunitas orang-orang yang terdidik sehingga parpol, peserta politik, atau perseorangan bisa turun ke kampus untuk melakukan sosialisasi politik di kalangan orang-orang yang pendidikannya sudah baik.

Berikutnya, menurut dia, kampanye di kampus dapat pula meningkatkan partisipasi politik terkait dengan keinginan peserta pemilu untuk meraih suara dari pemilih rasional.

"Di kampus, mahasiswa dan dosen sebagai insan kampus adalah pemilih rasional yang sangat besar sebenarnya untuk menjadi penyumbang suara dalam pemilu. Jadi, kenapa sebenarnya pemilih rasional itu jarang golput? Karena mereka bisa mempertimbangkan dengan rasio tertentu ketika mereka menentukan pilihan," ujarnya.

Meskipun memiliki sisi positif, Sri mengingatkan bahwa pelaksanaan kampanye di kampus juga memiliki sisi negatif, di antaranya risiko kemunculan konflik horizontal.

Menurut dia, konflik horizontal di kampus akan tetap ada sehingga perlu dicermati karena meskipun relatif homogen, pilihan politik bisa berbeda.

"Jadi, bisa ada potensi konflik horizontal," kata dia.

Selanjutnya, kampanye di kampus juga berpotensi memunculkan mobilisasi internal untuk mengarahkan warga kampus mendukung peserta pemilu tertentu. Berikutnya, dimungkinkan pula terjadi pemanfaatan fasilitas kampus untuk aktivitas politik.

Oleh karena itu, menurut Sri, kampanye di kampus perlu dilakukan secara cermat, baik oleh para peserta pemilu maupun pihak kampus itu sendiri, untuk mencegah terjadinya potensi risiko seperti itu.

Baca juga: Akademisi ajak masyarakat berpikir kritis hadapi kampanye hitam
Baca juga: Akademisi: Perlu kegiatan bagi Gen Z kampanyekan pemilu berkualitas

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022