Washington (ANTARA News) - Presiden Bank Dunia, Paul Wolfowitz, Minggu, menjadikan pemberi korupsi di dunia kaya sebagai sasaran ketika ia menggarisbawahi tekadnya untuk mencabut "kanker" korupsi di negara-negara miskin.
Merasa terserang oleh kampanye untuk lebih memfokuskan mengenai bagaimana untuk meningkatkan tata kelola di antara negara-negara penerima bantuan Bank Dunia, Wolfowitz mengatakan ia setuju bahwa masalah itu memiliki lebih dari satu dimensi.
"Untuk setiap penerima korupsi, ada pemberi korupsi, dan sering hal itu datang dari negara maju," katanya dalam konferensi pers usai pertemuan musim semi Bank Dunia.
"Kita perlu melakukan lebih banyak untuk mengatasi masalah ini dan untuk menjaga akuntabilitas perusahaan swasta dari mengekspor korupsi ke negara-negara yang sedang tumbuh," kata Wolfowitz, yang memperhatikan bahwa situs internet Bank Dunia memiliki daftar panjang sejumlah perusahaan yang masuk ke dalam daftar hitam (blacklist).
Sejak menggantikan James Wolfensohn sebagai Presiden Bank Dunia pada Juni tahun lalu, Wolfowitz telah menyatakan perang terhadap korupsi sebagai pusat dalam kebijakan pemberian pinjaman organisasi yang beranggotakan 184 negara.
Ia mengatakan anggota telah memberinya mandat untuk menciptakan kerangka kerja baru tentang kebijakan anti-korupsi yang akan diumumkan baik kepada negara pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman, saat pembicaraan tahunan Bank Dunia di Singapura pada September mendatang.
Wolfowitz mengulangi pernyataan Wolfensohn mengenai penggambaran korupsi sebagai "kanker dalam proses pembangunan", namun mengingatkan bahwa jalan keluar tidak datang dalam waktu semalam.
"Dan kita tidak harus dipusingkan dengan toleransi nol untuk korupsi sebagai persyaratan sempurna agar dapat bekerja sama dengan kita. Tidak ada negara yang mencapai kesempurnaan ketika berbicara tentang korupsi," katanya, seperti dikutip AFP.
"Namun, apa yang dapat kita harapkan adalah peningkatan progresif dari waktu ke waktu."
Wolfowitz, sambil menekankan peran negara kaya dalam kampanye tersebut, mengulang kembali bahwa pertanggungjawaban pertama-tama ada di negara berkembang dan terutama membersihkan institusi mereka.
"Kita perlu fokus kepada kebijakan pembangunan dan institusi bahwa mencegah korupsi sebelum mereka merusak pembangunan," katanya.
"Hukuman setelah fakta terjadi akan tidak pernah mencegah munculnya godaan untuk memperkaya diri sendiri." (*)
Copyright © ANTARA 2006