Maasai Mara (ANTARA) - Wajah Ngararika Noompunito berseri-seri saat mengenang betapa kagumnya dia sewaktu kecil ketika mendengar kawanan wildebeest (salah satu jenis antelop) melintas di dekat rumah lumpurnya, tak jauh dari Cagar Alam Nasional Maasai Mara, Kenya.
"Dulu ada banyak wildebeest lewat di sini," kata tetua Maasai itu sambil duduk di sebelah pondoknya yang berpagar kayu.
Pria berusia 65 tahun tersebut mengenakan topi jerami lebar dan shuka –selendang khas Maasai– berwarna merah jambu.
"Sekarang, jumlah hewan itu berkurang dan kami tidak melihat mereka lagi di sini. Jika di tahun-tahun depan tak ada hujan atau sedikit hujan, mungkin wildebeest sama sekali tak datang ke Kenya," kata dia.
Menjadi salah satu migrasi satwa terbesar di muka bumi, ratusan ribu wildebeest, zebra dan kijang menelusuri rute perjalanan tahunan mereka dari Taman Nasional Serengeti di Tanzania ke Maasai Mara di Kenya.
Namun ketika suhu planet ini meningkat, keajaiban alam itu --yang selalu menarik minat banyak penikmat safari setiap tahun--- kini terancam, kata para konservasionis alam liar.
Cuaca tak menentu akibat perubahan iklim telah menimbulkan banyak kekeringan parah dan banjir sporadis di ekosistem Mara yang ringkih, sehingga wildebeest semakin kehilangan tempat mencari makan.
Kondisi itu tidak hanya membuat jumlah hewan yang bermigrasi ke Kenya berkurang, tetapi juga membuat mereka tinggal lebih sebentar.
Riset oleh Joseph Ogutu, statistikawan senior di Universitas Hohenheim Jerman, dan seorang pakar dinamika populasi alam liar menemukan bahwa dulu ada empat migrasi wildebeest yang berbeda di beberapa wilayah Kenya.
Tetapi, tiga di antaranya kini telah hilang, menurut hasil riset itu.
Hanya migrasi Serengeti-Mara yang masih tersisa, meskipun jumlah wildebeest yang bermigrasi tinggal 203.611 ekor pada 2021 anjlok 60 persen dari 1977, kata Ogutu.
Waktu yang dihabiskan kawanan hewan yang bermigrasi di Mara juga turun, terkadang hanya satu setengah bulan, jika dibandingkan dengan dulu yang mencapai empat bulan, menurut riset itu.
"Jumlah wildebeest sudah berkurang akibat bertambahnya permukiman manusia, pembangunan pagar dan penggembalaan ternak, semuanya mencegah wildebeest untuk sampai ke kawasan merumput," kata Ogutu.
"Perubahan iklim tentu memperburuk situasi. Jika ada kekeringan meskipun singkat, hewan liar tidak punya ruang untuk mencari makan. Pada 2050, bakal ada ancaman serius migrasi itu bisa hilang, itu bisa terjadi lebih cepat," katanya, menambahkan.
Peringatan itu muncul beberapa hari menjelang pertemuan puncak iklim PBB COP27 di Mesir.
Pada KTT tersebut, para pemimpin dunia akan berdebat tentang besarnya dana dari negara-negara kaya yang mesti diberikan kepada negara-negara berkembang untuk membantu mereka mengatasi dampak pemanasan global.
'Pemotong Rumput Mara'
Kenya, yang terkenal karena wisata safarinya dan pantai-pantai nyiur di pinggir Samudra Hindia, didatangi sekitar dua juta pengunjung setiap tahun dari negara-negara seperti China, Jerman, Amerika Serikat, Prancis, India, dan Inggris.
Pariwisata adalah penopang penting ekonomi negara di Afrika Timur itu, menyediakan lebih dari dua juta pekerjaan dan menyumbang sekitar 10 persen produk domestik bruto.
Tidak ada yang lebih menarik perhatian wisatawan untuk datang ke Kenya selain Maasai Mara.
Di lahan seluas 1.510 km persegi, pertunjukan alam terhebat di Mara berlangsung setiap Juli setelah musim hujan.
Pada musim itu, wildebeest memenuhi cagar alam tersebut, berlari menghindari buaya Nil yang lapar saat menyeberangi Sungai Mara.
Setibanya di padang rumput Mara yang subur, wildebeest makan dan kawin. Mereka lalu melakukan perjalanan berat lagi menuju Serengeti pada Oktober, saat para betina melahirkan sebelum mereka kembali bermigrasi bersama anak-anak yang baru lahir.
Selain mendatangkan jutaan dolar bagi pariwisata Kenya, wildebeest menjadi elemen penting dalam ekosistem Mara.
Hewan yang dijuluki "pemotong rumput Mara" itu memakan rumput yang tinggi, menyisakan rumput yang lebih pendek bagi herbivor lain seperti zebra dan kijang. Perilaku itu juga menurunkan frekuensi kebakaran pada musim kering.
Ancaman Iklim
Afrika Timur adalah salah satu wilayah paling rentan terhadap perubahan iklim. Negara-negara seperti Kenya, Ethiopia, dan Somalia secara rutin mengalami cuaca yang tidak menentu, dari musim kemarau yang panjang hingga hujan deras dan banjir.
Wilayah itu saat ini dilanda kondisi paling kering sejak 1981, setelah musim hujan yang gagal empat tahun berturut-turut.
Kondisi tersebut membuat 26 juta orang di tiga negara itu terancam kelaparan ekstrem, menurut Program Pangan Dunia.
Di cagar alam Maasai Mara, kekeringan yang semakin parah juga memicu konflik antara manusia dan hewan pemangsa.
"Jika terjadi kekeringan, herbivor bergerak untuk mencari padang rumput dan air dan mereka dibuntuti oleh singa, yang kemudian menyerang ternak," kata Kasaine Sankan, peneliti senior di Program Konservasi Predator Mara.
"Masyarakat lalu membalas dengan membunuh singa untuk melindungi ternak mereka," katanya.
Sankan mengatakan periode kering juga membuat hewan ternak di Maasai mendekati cagar alam, mempersempit ruang mencari makan bagi herbivor seperti wildebeest.
Dengan dukungan dari lembaga konservasi nirlaba WWF Kenya, beberapa permukiman berusaha beradaptasi dengan mengurangi jumlah ternak seperti sapi, domba, dan kambing, serta memperkenalkan jenis ternak yang tahan kekeringan.
Mereka juga membangun kawasan "anti predator" dengan pagar yang lebih kuat serta lampu, memasang pompa air, dan mengalokasikan zona rumput tertentu bagi komunitas.
Ketika model-model perubahan iklim memprediksi lebih banyak banjir dan kekeringan di Mara, gangguan pada migrasi wildebeest akan menjadi pukulan besar secara global, kata Yussuf Wato, manajer program alam liar di WWF Kenya.
Penderitaan besar akan dialami oleh Kenya, kata dia, seraya menambahkan bahwa negara-negara Afrika membayar ongkos lebih besar meski hanya menyumbang tiga persen emisi gas rumah kaca dunia.
"Para pemimpin dunia di konferensi iklim perlu menghargai komitmen untuk mencapai nol bersih emisi pada 2050, membangun ketahanan masyarakat dan ekosistem dengan melindungi habitat alami, dan memberikan dana untuk membantu negara-negara beradaptasi," kata Wato.
"Jika kita tak berbuat apa-apa pada 2050, kawasan-kawasan terlindungi seperti ekosistem Mara Raya akan menjadi sangat rentan. Kondisi mereka kelak tidak akan seperti sekarang," katanya.
Sumber: Thomson Reuters Foundation
Baca juga: Populasi "Botswana Wildebeest" Turun Hampir 90 Persen
Baca juga: Kemarau di Kenya perparah konflik manusia-hewan
Migrasi tahunan antelop tibet telah berakhir
Penerjemah: Anton Santoso
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2022