“Umumnya kalau yang kecil (anak kecil yang menderita HIV), kami berusaha berbicara dengan keluarga besar. Mereka harus tahu, mereka harus saling membantu. Bagaimana pun anak-anak ini bergantung pada mereka,” kata dokter spesialis anak itu dalam webinar “HUT 103 RSCM” yang diikuti di Jakarta, Kamis.
Nia mengatakan peran pendamping bisa dilakukan oleh keluarga terdekat jika orang tua kandung sudah meninggal dunia. Dengan pendampingan, diharapkan pemberian terapi atau pengobatan tidak terputus di tengah jalan dan berlangsung secara berkelanjutan.
Baca juga: Dokter: Anak dengan HIV bisa tumbuh normal dengan konsumsi ARV
Menurut dia, kejadian putus obat pada anak memiliki banyak faktor pendorong, termasuk ketidakhadiran orang tua yang biasanya memantau kondisi sang anak yang kemudian meninggal dunia. Dalam kondisi tersebut, Nia mengatakan dokter berusaha untuk mencari orang dewasa yang terkait dengan keluarga terdekat sang anak yang dapat dipercaya untuk secara rutin menyiapkan obat.
“Namun, bisa juga ada situasi problemnya ada di keluarganya. Mereka tidak terlalu terlibat aktif. Mereka mau antar berobat, mereka mau mengambilkan obatnya, tetapi tetap saja tidak mengawasi. Jadi obat yang diminum atau tidak diminum terserah saja, misalnya. Jadi itu banyak faktor,” katanya.
Nia mengatakan orang dewasa, baik dokter maupun keluarga, dapat memberitahu status anak sebagai penderita HIV ketika mereka sudah memasuki usia remaja. Proses ini, kata Nia, bisa saja berjalan cukup lambat dan panjang bergantung kondisi dan kesediaan pihak keluarga.
Nia menekankan bahwa pemberitahuan status HIV harus dilakukan secara hati-hati melalui kesepakatan diskusi antara dokter dan keluarga untuk mencegah amarah yang mungkin muncul pada anak.
Baca juga: Gedongtengen, Puskesmas pertama Yogyakarta layani PrEP cegah HIV
“Memang harus dikasih tahu kalau mereka itu harus dipantau kesehatannya. Di situ kemudian kita membuka status HIV-nya sambil menunggu pertanyaan dari anak ini, ‘Aku habis itu ngapain?’, banyak yang bertanya seperti itu. Tapi ini memang proses yang tidak mudah, karena bisa marah ini remaja,” katanya.
Dia mengatakan kendala proses pemberitahuan status tersebut akan lebih berat dialami pihak keluarga. Orang tua boleh saja menunda untuk memberitahu status HIV kepada anak, tetapi Nia menekankan bahwa jangan sampai anak tersebut mengetahuinya dari orang lain.
“Asal jangan tidak sengaja anak tahu dari orang lain dan dia marah besar, itu kan lebih berat. Biasanya problemnya di situ,” ujar Nia.
Dia mengatakan tidak ada kewajiban memberitahu status HIV anak kepada pihak lain atau tempat tertentu yang tidak terkait dengan kesehatan misalnya pihak sekolah. Kewajiban memberitahu status HIV akan berlaku apabila anak menjalani pengobatan di fasilitas kesehatan, misalnya pengobatan di dokter gigi atau saat akan melakukan operasi.
Baca juga: Yayasan Pelangi Maluku sasar komunitas pemeriksaan HIV mandiri OFT
“Kalau tidak ada perlunya, ke sekolah misalnya, ya tidak perlu. Ke tetangga saja tidak perlu kasih tahu. Sebetulnya tidak ada kewajiban memberitahukan status HIV ke sekolah. Makanya, ketika anak remaja ini sudah mulai dikasih tahu, kan biasanya sudah jarang sakit, mereka cuma sebal saja karena harus datang ke rumah sakit tiap bulan atau dua bulan,” kata Nia.
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022