masyarakat yang minim literasi dapat terpengaruh dengan narasi stigmatisasi agama

Jakarta (ANTARA) - Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan mengatakan radikalisme dan terorisme merupakan fakta dan bukan stigmatisasi.

Dalam rilis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang diterima di Jakarta, Kamis, Ken menyatakan hal itu terkait adanya opini seolah-olah radikalisme dan terorisme itu pelabelan dan stigmatisasi Pemerintah terhadap agama Islam.

"Narasi tersebut sangat berbahaya karena sebagian masyarakat yang minim literasi dapat terpengaruh dengan narasi stigmatisasi agama dan tidak adanya ancaman terorisme yang hanya sekedar rekayasa," kata Ken.

Baca juga: Wanita coba terobos Istana Merdeka sempat todongkan senjata ke Paspampres

Dia menyatakan hal itu guna menanggapi penangkapan seorang wanita benama Siti Elina (SE) yang hendak menerobos masuk ke Istana Merdeka, Jakarta, dengan membawa pistol beberapa waktu lalu.

Ironisnya, usai kejadian tersebut, muncul komentar seorang tokoh yang mengatakan bahwa kasus tersebut merupakan bentuk stigmatisasi Pemerintah terhadap umat Islam. Bahkan tokoh itu meminta masyarakat untuk tidak percaya terhadap radikalisme dan terorisme, karena itu merupakan "pengaturan" Pemerintah menjelang tahun politik.

Ken menilai perlu edukasi lebih masif dari segenap elemen untuk menyebarkan bahwa melawan radikalisme dan terorisme bukan stigmatisasi agama. Seruan antiradikalisme dan antiterorisme justru menyelamatkan agama dari fitnah yang dilakukan kelompok teroris, tegasnya.

Dia mengungkapkan bahwa ada sebuah fakta di mana orang belajar pada guru yang salah. Akhirnya, orang tersebut menafsirkan dan mengaplikasikan ayat-ayat terkait jihad dengan cara yang salah pula.

Menurut Ken, hal itulah yang dialami oleh SE karena mendapat doktrin dan pengaruh dari guru dan suami yang ternyata terungkap menjadi bendahara NII Jakarta Utara.

Baca juga: Polisi selidiki identitas perempuan todongkan pistol ke Paspampres

Ken mengatakan Ideologi NII tidak akan pernah mati. Justru, ideologi itu kini cukup masif, terutama di kalangan perempuan. Hal itu dibuktikan dengan beberapa pelaku aksi terorisme yang melibatkan kaum perempuan.

Sebelum kasus SE menerobos Istana Merdeka, kejadian penyerangan Mabes Polri di Jakarta Selatan juga dilakukan oleh seorang perempuan. Selain itu, ada pula bom bunuh diri di Surabaya dan Makassar yang juga dilakukan oleh pelaku perempuan.

"Perempuan lebih rentan, karena bila sudah bergabung dengan NII atau HTI dan terikat pernikahan, maka dia ketaatan pada kelompoknya lebih kuat," ungkap Ken.

Ken mengatakan banyak laporan pengaduan kasus yang diterima NII Crisis Center akhir-akhir ini melibatkan perempuan dalam kasus radikalisme dan terorisme. Bahkan, tambahnya, tidak sedikit di antara mereka yang berpendidikan sarjana dan pascasarjana dari perguruan tinggi ternama di Indonesia.

Baca juga: Mabes Polri: Polda Metro dalami insiden wanita bersenjata di Istana

Ia juga mendorong dibuatnya regulasi untuk melarang ideologi-ideologi yang diusung kelompok radikalisme di Indonesia. Menurutnya, itu penting karena jelas ideologi itu bertentangan dengan ideologi bangsa, yaitu Pancasila.

"Saat ini, belum ada payung hukum yang dapat menindak paham radikalisme seperti NII, khilafaisme, salafisme, wahabisme dan lain-lain. Kalau pun ditindak, hanya organisasinya, itu pun hanya dengan pasal yang ringan. Bila mereka ganti nama, maka mereka bisa kembali melakukan perekrutan dan penggalangan dana," ujar Ken Setiawan.

Dia menilai perlu ketegasan negara untuk memberantas paham radikal yang mengatasnamakan agama. Pasalnya, tak satu pun agama di muka bumi yang mengajarkan kekerasan, merusak, apalagi membunuh sesama manusia.

Baca juga: Kepala BNPT: Persaudaraan kunci terciptanya persatuan

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022