Jakarta (ANTARA) - Dokter Spesialis Kandungan dan Ginekologi dr. Cindy Rani Wirasti, Sp.O.G. menyatakan jika keputihan yang diderita oleh seorang perempuan bukanlah gejala dari kanker serviks yang terjadi akibat penularan virus human papillomavirus (HPV).

“Banyak orang menduga kalau keputihan itu salah satu tanda kanker serviks, padahal bukan. Kanker serviks itu terjadi di dalam, jadi dia tidak bisa dilihat secara kasat mata dan harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut,” kata Cindy dalam Kelas Jurnalis Pencegahan Kanker Serviks yang diikuti di Jakarta, Rabu.

Cindy menuturkan kanker serviks tidak menimbulkan gejala pada penderitanya, hanya saja penyakit itu baru terdeteksi setelah memasuki stadium lanjut. Dapat diketahuinya tanda-tanda kanker serviks pada seorang perempuan, baru dapat dinyatakan setelah membuka vagina dengan spekulum.

Indonesia sendiri telah dilaporkan adanya 36.633 kasus baru dan 21.003 kematian akibat kanker serviks pada 2020. Angka ini menunjukkan terdapat 88 kasus baru dan lebih dari 50 kematian akibat kanker leher rahim setiap hari di Indonesia berdasarkan data Observasi Kanker Dunia Globocan 2020.

Baca juga: Vaksinolog: Vaksin HPV tidak mengandung virus dan aman bagi tubuh

Baca juga: Ahli: Efektivitas vaksin HPV lebih tinggi ketika diberikan kepada anak

Ia mengatakan meski tidak dapat dilihat secara kasat mata, kanker serviks dapat terlihat jika sudah mengalami keparahan yang diikuti dengan beberapa tanda seperti munculnya daging pada sekitar vagina, keluarnya keputihan bercampur darah, vagina berbau, frekuensi buang air kecil meningkat, mudah lelah hingga nyeri saat berhubungan intim dan ada bercak darah pada urine.

Oleh karenanya, Cindy mengimbau agar setiap perempuan yang sudah aktif melakukan hubungan seks untuk memeriksakan dirinya agar segera ditangani disamping mendapatkan vaksin HPV.

Cindy mengatakan pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama dan dapat dilakukan baik dengan pap smear ataupun tes IVA (inspeksi visual dengan asam asetat). Pemeriksaan dianjurkan bagi perempuan yang sudah aktif berhubungan seksual dan sudah berusia di atas 21 tahun serta harus dilakukan secara rutin.

Pemeriksaan tersebut sangat penting karena meskipun seseorang hanya mempunyai satu pasangan seks, tetap berpotensi tertular HPV apabila pasangannya telah terinfeksi HPV. Ia berharap perempuan tidak lagi takut untuk melakukan kontrol dan mempercayai stigma dan mitos yang banyak beredar, seperti takut dicap gemar berganti pasangan dalam masyarakat.

“Selain itu, riwayat keturunan, pola hidup tidak sehat, penggunaan pil KB, hingga belum adanya proteksi dari vaksinasi HPV juga menjadi faktor utama penyebab kanker serviks,” ucap Cindy yang juga Anggota Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) itu.

Vaksinolog Dirga Sakti Rambe turut meminta agar masyaarkat tidak termakan hoaks yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, baik itu terkait dengan vaksin HPV yang menyebabkan kemandulan dan lain sebagainya.

Dirga turut menekankan masyarakat tidak perlu menunggu sakit terlebih dahulu, untuk mendapatkan suntik vaksin HPV karena vaksin sudah tersedia di banyak rumah sakit dan klinik, baik jenis bivalen maupun quadrivalent.

“Saya sangat menganjurkan masyarakat untuk proaktif berdiskusi dengan tenaga medis untuk memastikan perlindungan maksimal dari vaksin yang didapatkan,” ujarnya yang juga dokter spesialis penyakit dalam itu.*

Baca juga: Vaksinolog sebut virus HPV dapat hindari sistem imun tubuh

Baca juga: Kemenkes: Vaksin HPV resiliensi cegah kanker serviks sejak dini

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022