Banda Aceh (ANTARA News) - Krisis minyak tanah kelihatannya terjadi merata di seluruh kabupaten/kota di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sehingga harga jual pada tingkat pedagang pengecer juga bervariasi, dari Rp3.000 - Rp3.500 perliter. Informasi yang dihimpun ANTARA di Banda Aceh, Kamis, menyebutkan kelangkaan minyak tanah sudah terjadi selama sekitar sebulan terakhir, namun pihak Pertamina hingga kini belum berhasil mengatasinya secara tuntas. Kegiatan operasi pasar (OP) minyak tanah yang dilakukan aparat Pertamina cabang Banda Aceh kelihatannya tidak efektif, sehingga kelangkaan minyak tanah hampir pada semua pedagang pengecer terus berlanjut. Beberapa pedagang pengecer minyak tanah di Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar menuding kelangkaan minyak tanah terjadi akibat kelemahan oknum aparat Pertamina dalam mengendalikan pasokan pada tingkat pangkalan. "Di pangkalan saja sering kehabisan stok, apalagi pada kami pedagang pengecer," kata Usman Ali, salah seorang pedagang pengecer minyak tanah di Aceh Besar. Sebagian pengecer minyak tanah di Aceh Besar terlihat masih memiliki stok, namun sudah sangat tipis, namun harga jual menjadi Rp.3.500 sampai Rp 3.650 perliter karena alasan mereka membeli dengan harga lebih mahal dari biasanya. Jurubicara Pertamina cabang Banda Aceh, Sayid Farid, dalam keterangan sebelumnya tidak membantah keluhan masyarakat atas kelangkaan minyak tanah bersubsidi, sehingga harga jual pada tingkat pedagang pengecer sangat bervariasi. Pihak Pertamina tidak membantah persediaan minyak tanah bersubsidi semakin terbatas, sementara minyak tanah non-subsidi tersedia cukup banyak dan siap mengantar kepada pelanggan yang membutuhkannya minimal 5.000 liter. Sebelumnya, Ketua Komisi B DPRD Aceh, Asrul Abbas, menyesalkan sikap Pertamina yang terkesan membiarkan terus berlanjut kelangkaan minyak tanah yang terjadi selama sebulan terakhir ini hampir merata di seluruh Aceh. Menjual minyak tanah non-subsidi kepada masyarakat dengan harga Rp 5.507,06 perliter dianggapnya bulan sebagai solusi untuk mengatasi krisis minyak tanah, tetapi hanya menambah beban penderitaan masyarakat lapisan bawah. "Yang mengkonsumsikan minyak tanah sebagai bahan bakar kebutuhan sehari-hari bukan masyarakat kelas atas, tetapi mereka yang berpenghasilan pas-pasan, sehingga kelangkaan minyak tanah cukup meresahkan mereka," kata Asrul Abbas.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006