Jakarta (ANTARA News) - Ekonom dari Bank Mandiri, Martin Panggabean, memperkirakan rupiah akan mengalami penguatan hingga akhir tahun 2006, bahkan bisa mencapai kisaran Rp8.500. Kepada wartawan di Jakarta, Kamis, Martin menjelaskan bahwa hal itu diakibatkan adanya kesesuaian dengan kondisi yang pernah terjadi pada kuartal empat 1998 hingga kuartal keempat 2000 dimana terjadi siklus penguatan rupiah yang cukup signifikan, namun kemudian diikuti oleh siklus pelemahan pada kuartal selanjutnya. "Siklus penguatan dan pelemahan berlangsung cukup panjang sekitar 5-6-7 kuartal. Jadi kalau penguatan rupiah dimulai pada kuartal keempat 2005 maka diharapkan pada akhir kuartal empat penguatan masih akan terus terjadi," katanya. Dia juga memperkirakan inflasi inti saat ini berada pada kisaran 9,3 persen dan level itu adalah puncak inflasi sehingga inflasi dapat diharapkan segera turun. "Jika kita lihat selisih inflasi inti dengan BI Rate yang 12,75 persen adalah sekitar tiga persen dan itu angka yang cukup besar. Kita proyeksikan pada akhir tahun inflasi inti akan berada pada tujuh persen dan jika BI akan mempertahankan margin tiga persen itu maka BI Rate pada akhir tahun akan berada pada kisaran 10 persen," katanya. Bahkan, katanya, dalam jangka pendek seharusnya BI sudah dapat menurunkan tingkat suku bunganya sekitar 25-50 basis poin. "Kita akan lihat pada bulan depan," ujarnya. Hal lain yang menurutnya sangat memungkinkan BI untuk menurunkan tingkat suku bunganya adalah selisih kurva imbal hasil (yield curve) antara Indonesia dengan negara-negara Asia masih sangat besar sehingga penurunan 25-50 basis poin tidak akan mengurangi daya tarik berinvestasi di Indonesia. Dia menambahkan saat ini tengah terjadi perubahan ekspektasi dan optimisme yang luar biasa dari pelaku pasar. "Market begitu optimis dengan situasi di Indonesia. Mereka katakan bunga 12,75 persen tidak menarik dan membeli obligasi dengan jangka waktu 16-17 tahun dengan bunga di bawah 12,75 persen," ungkapnya. Lebih lanjut dia menjelaskan, ancaman dari kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Fed, seharusnya tidak begitu besar karena selisih rata-rata antara BI Rate dan Fed Fund masih memberi ruang yang cukup untuk penurunan. Namun demikian, situasi kondusif di sektor finansial tidak diikuti oleh sektor riil, dimana dari beberapa indikator yang dianalisanya, Martin menemukan bahwa hanya satu yang menunjukkan hal positif, yaitu mulai impor barang modal. Sementara, indikator lainnya, seperti indikator pasokan uang di pasaran, konsumsi semen, total impor, total ekspor, rasio konsumsi listrik oleh industri, rasio penjualan mobil, kedatangan turis mancanegara dan jumlah investasi yang disetujui mengalami penurunan. Kondisi ini, menurut Martin tidak terlalu menguntungkan BI karena jika mereka menurunkan BI Rate, yang akan diikuti oleh penurunan suku bunga bank dan suku bunga kredit, maka dikhawatirkan nilai tukar yang tengah menguat akan terganggu. Sementara peningkatan sektor riil membutuhkan penurunan suku bunga untuk memacu belanja. "Tetapi untuk saat ini, penurunan BI rate yang kemungkinan akan diikuti oleh pelemahan kurs hingga menjadi Rp9.300-9.500 per dolar adalah `trade-off` yang cukup karena rupiah yang telah menguat cukup tajam saat ini," jelasnya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006