Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Jawa Barat (PPPTJB) Yan Mei mengingatkan bahwa akan terjadi dampak mengerikan dari perang antara Rusia dan Ukraina yang berlangsung lama, antara lain terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik garmen tekstil.
"Perang Ukraina memberi dampak besar, antaranya kepada kenaikan inflasi di Amerika dan Eropa, kenaikan biaya biaya logistik, dan anjloknya pesanan garmen," kata Yan Mei di Jakarta, Minggu.
Mengutip sumber dari BPS, Yan Mei yang didampingi Dessy Sulastri dari Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mengatakan bahwa di Jawa Barat, terdapat 14 kabupaten dan kota yang sudah memberikan data jumlah pengurangan atau PHK.
Dari total 124 perusahaan yang ada, terdapat sebanyak 64.165 pekerja yang sudah menjadi korban PHK, serta 18 perusahaan terpaksa ditutup karena tidak mampu lagi bertahan di tengah situasi sulit tersebut.
Menurut Yan Mei, perusahaan garmen adalah sektor padat karya dengan rata-rata pendidikan tingkat SMP, sehingga mereka adalah kelompok yang paling rentan terhadap gejolak yang terjadi.
"Untuk keluar dari masalah pelik tersebut, masih ada langkah yang bisa ditempuh asalkan semua pihak bisa duduk bersama untuk mencari jalan keluarnya, terutama yang menyangkut masalah pengupahan," katanya.
Melihat kondisi tersebut, Yan Mei berharap kepada Presiden Jokowi agar segera mengambil tindakan-tindakan yang cepat dalam mengamankan bahaya tutupnya industri garmen imbas dari perang Ukraina
Kabupaten Bogor dan Purwakarta mengalami kerentanan paling tinggi akibat tingkat upah yang sangat tinggi sehingga dalam situasi tekanan gejolak perang ukraina, sudah akan lebih dahulu kehilangan daya saingnya.
Kondisi tersebut diakui oleh Taufik Rachmat Garsadi dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat, yang mengungkapkan bahwa sedikitnya 43 ribu pekerja tekstil dan garmen di enam Kota/Kabupaten di Jawa Barat mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Untuk mengatasi kondisi tersebut, Pemerintah Jawa Barat pun mengimbau agar perusahaan melakukan penyesuaian jam kerja hingga mengurangi upah untuk mempertahankan tenaga kerja.
Sementara itu juru bicara PPPTJB Sariat Arifia menegaskan bahwa imbauan Pemerintah Jawa Barat tersebut sudah sangat bagus dan karenanya harus dituangkan dalam payung hukum baik di tingkat provinsi bahkan nasional.
"Karena situasi ekonomi, bahkan bagi industri garmen inilah kondisi terberat yang pernah ada. Payung hukum ini yang sudah sangat dinanti-nanti oleh industri garmen dan para buruh mengatur relaksasi pengupahan berbasis Pancasila, yakni musyawarah mufakat. Sehingga was-was para pelaku industri garmen ini segera selesai dan fokus menghadapi turbulensi bisnis," kata Sariat
Sementara itu Wakil Ketua Kadin Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta Kamdani memprediksi sektor padat karya akan melakukan PHK karena permintaan pasar dari sektor tersebut turun tajam.
Meski Shinta tidak memprediksi kapan gelombang PHK sektor padat karya tersebut terjadi, ia yakin bahwa banyak perusahaan yang melakukan efisiensi di banyak bidang demi untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka.
Baca juga: Rachmat Gobel: Impor baju bekas ancaman bagi industri garmen
Baca juga: KSP turut prakarsai pembentukan ekosistem industri garmen di Semarang
Baca juga: Pengusaha berharap industri garmen bisa diselamatkan saat pandemi
Pewarta: Atman Ahdiat
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022