Jakarta (ANTARA) - Harus diakui kemajuan teknologi dan informasi memudahkan hampir semua aktivitas manusia. Tampaknya semua kegiatan tidak bisa dilepaskan dari peran teknologi dan informasi.
Namun, kemajuan teknologi dan informasi tersebut tidak selalu berdampak positif bagi masyarakat. Ibarat mata pisau yang memiliki dua sisi, teknologi juga demikian. Bila digunakan secara tepat dan sebagaimana mestinya, maka akan sangat membantu.
Salah satu yang perlu diwaspadai dari kemajuan teknologi dan informasi ialah kejahatan seksual berbasis gender yang kerap terjadi di Indonesia maupun di negara-negara lain di dunia. Korban pada umumnya merupakan anak-anak dan perempuan.
Pelaku kejahatan dengan sengaja memanfaatkan kemajuan teknologi untuk menjalankan aksinya hingga merugikan korban.
Berdasarkan laporan atau data yang diterima oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), angka kekerasan seksual berbasis gender di ruang siber mengalami lonjakan yang cukup signifikan sejak 2017 hingga 2021.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyebut dalam kurun waktu empat tahun tersebut kasus kekerasan seksual berbasis gender naik drastis hingga 108 kali lipat.
Jika ditelisik lebih dalam, hal ini membuktikan bahwa kejahatan di ruang siber semakin gencar dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Di satu sisi, ini sekaligus menandakan ruang siber tidak sepenuhnya aman atau ramah, terutama bagi anak-anak dan perempuan yang kerap menjadi korban.
Di tataran global, kasus kekerasan seksual berbasis gender juga mendapat sorotan tajam oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Melalui rekomendasi umum Nomor 35 Tahun 2017 yang pada intinya menyebutkan bahwa kekerasan berbasis gender kepada perempuan telah berkembang sedemikian rupa, termasuk menggunakan media teknologi informasi.
Khusus di Tanah Air, Komnas Perempuan pada Tahun 2021 merumuskan definisi kekerasan siber berbasis gender dengan mengadopsi definisi yang dikeluarkan oleh PBB maupun pengertian dari lembaga lainnya.
Hasilnya, Komnas Perempuan menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan siber berbasis gender ialah setiap tindakan berbasis gender yang dilakukan, didukung atau diperburuk sebagian atau seluruhnya karena penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
Tindakan itu menyasar seorang perempuan sebagai korban atau mempengaruhi secara tidak proporsional yang mengakibatkan atau mungkin berakibat kesengsaraan, penderitaan perempuan secara fisik, seksual maupun psikologis.
Termasuk juga di dalamnya ancaman tindakan berupa pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun dalam kehidupan pribadi korban.
Pada tahun 2020 Komnas Perempuan mengeluarkan sejumlah rekomendasi yang salah satunya pada tatanan kebijakan untuk mengintegrasikan kekerasan seksual berbasis gender ke dalam rumusan peraturan perundang-undangan.
Rekomendasi itu lahir atas pertimbangan adanya peluang teknologi dan informasi yang berpotensi dijadikan oleh pelaku kejahatan untuk melakukan kekerasan seksual berbasis teknologi.
Pada saat itu, Komnas Perempuan menyodorkan rekomendasi agar diintegrasikan ke dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), termasuk di RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) serta dalam revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), hingga Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP) yang saat ini masih dibahas oleh pemerintah bersama DPR RI.
Upaya Komnas Perempuan bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil melahirkan hal positif dimana sejumlah bentuk kekerasan seksual berbasis elektronik dimasukkan ke dalam UU TPKS. Pengaturan tersebut termuat dalam Pasal 4 Ayat (1).
Kejahatan seksual yang dimaksud ialah pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan strerilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Lebih rinci, dalam Pasal 14 UU TPKS disebutkan tiga hal yang termasuk kekerasan seksual berbasis elektronik. Pertama, setiap orang yang tanpa hak merekam dan atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak/persetujuan orang yang menjadi objek perekaman.
Kedua, mentransmisikan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan sebagai keinginan seksual.
Terakhir, melakukan penguntitan dan atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi atau dokumen elektronik untuk tujuan seksual.
Ketiga perbuatan tersebut dapat dipidana, paling lama empat tahun kurungan penjara dan atau denda paling banyak Rp200 juta.
Kemudian, pada Ayat (2) Pasal 14 UU TPSK juga disebutkan bahwa apabila ketiga perbuatan tersebut dilakukan dengan maksud pemerasan, pengancaman atau memaksa, memperdaya seseorang, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun serta denda paling banyak Rp300 juta.
Pencegahan
Anggota Komisi Paripurna Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan tingginya angka kejahatan kekerasan seksual berbasis elektronik menimbulkan kecemasan bagi masyarakat, terutama anak-anak dan perempuan, yang tergolong rentan. Untuk itu, upaya pencegahan sedini mungkin perlu dilakukan oleh banyak pihak.
Upaya yang dapat dilakukan, misalnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pencegahan tindak pidana kekerasan seksual secara cepat, terpadu dan terintegrasi.
Kedua, penyelenggaraan pencegahan tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan melalui banyak bidang, yaitu pendidikan, keluarga, keagamaan, sarana dan prasaran publik, pemerintahan dan tata kelola lembaga.
Berikutnya, termasuk juga peran sektor perekonomian dan ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial, budaya dan terakhir ialah melalui teknologi informasi.
Untuk memperdalam pemahaman tentang pencegahan kekerasan seksual berbasis elektronik, Komnas Perempuan mencoba menggali dan mempelajari kejahatan tersebut di tujuh negara, termasuk soal penanganannya.
Tujuh negara tersebut, ialah Jerman, Australia, India, Korea Selatan, Pakistan, Inggris, dan Filipina. Kajian yang dilakukan oleh Komnas Perempuan terhadap ketujuh negara itu dilakukan melalui riset kepustakaan tentang kekerasan seksual berbasis elektronik.
Fokus kajian Komnas Perempuan dari tujuh negara itu ialah perbandingan pengaturan kasus, mekanisme pemulihan dan strategi pencegahan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Hasil kajian kepustakaan atau pendalaman literasi tersebut menemukan sejumlah fakta tentang kejahatan atau kekerasan seksual berbasis elektronik di berbagai negara. Di Jerman, tindakan seperti menguntit, melecehkan, mengancam, menyalahgunakan dan menghina yang dilakukan di ruang digital dijerat dalam hukum pidana secara umum.
Meskipun tidak ada undang-undang khusus yang mengatur, namun Jerman memiliki Undang-Undang tentang Act of Improve Enforcement of the Law Social Networks yang disahkan pada 2017. Undang-undang tersebut mengharuskan perusahaan media sosial menghapus konten yang dianggap melanggar hukum di negara itu. Jika ditemukan kekurangan sistemik dalam menangani masalah, maka didenda hingga 50 juta Euro.
Hal baiknya, penerapan undang-undang tersebut mengharuskan perusahaan media sosial menghapus atau memblokir konten yang melawan hukum, termasuk menyediakan sistem pengaduan yang efektif.
Kemudian di Inggris, kasus kekerasan seksual berbasis elektronik diatur dalam tiga undang-undang yang pada intinya mengatur soal intimidasi, pelecehan dan penguntitan. Selain itu, Inggris juga membentuk program yang dinamai National Helpine UK yang telah menerima lebih dari 7.000 laporan mengenai kekerasan seksual berbasis elektronik.
Sayangnya, dari ribuan pengaduan yang masuk tidak semuanya direspons oleh aparat kepolisian setempat maupun menangani korban dengan tepat. Pemahaman polisi yang terbatas pada Undang-Undang Revenge Porn serta kurangnya percaya diri penegak hukum dalam menyelidiki kasus maupun menangani korban secara efektif.
Menangani kasus kekerasan seksual berbasis siber dengan mengandalkan payung hukum saja sepertinya tidak cukup apabila tidak diikuti sistem pelaporan, penanganan dan penjatuhan vonis yang efektif.
Sebab, cukup banyak aturan-aturan dalam suatu undang-undang menyangkut digital justru malah berpotensi mengkriminalisasi korban kekerasan, membatasi kebebasan berpendapat dan dimanfaatkan oleh pemerintah yang berkuasa untuk membungkam oposisi.
Terakhir, penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual berbasis elektronik akan efektif jika melibatkan banyak pihak, misalnya jurnalis, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga-lembaga lainnya.
"Sosialisasi payung hukum dan alur penanganan serta informasi mengenai kekerasan tersebut harus dapat membantu perempuan mengenali tanda-tanda serta melaporkannya dengan mudah," kata Siti.
Ke depan dengan lahirnya UU TPKS segala bentuk kekerasan seksual yang terjadi di ruang siber maupun di tempat lainnya diharapkan bisa diantisipasi sedini mungkin. Bagaimana pun juga menjadikan ruang digital yang aman, sehat dan nyaman merupakan tanggung jawab negara kepada masyarakat.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022