Jakarta (ANTARA News) - Pengawasan hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) kembali dipermasalahkan melalui uji materil UU No.5 Tahun 2004 tentang MA dan UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis. Kali ini pemohonnya adalah FX Cahyo Baroto yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Azi Ali Tjasa, yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan akibat ketidaksamaan di depan hukum, karena berlakunya surat edaran No.4 Tahun 2002 yang ditandatangani oleh Ketua MA Bagir Manan tentang pejabat peradilan yang tidak bisa diperiksa oleh kepolisian. Pemohon merasa dirugikan karena dalam perkara perdata yang dihadapinya itu, ia dikalahkan dengan dugaan ada permainan KKN yang dilakukan oleh majelis hakim yang menangani perkara itu. "Saya sudah melakukan upaya hukum sampai Peninjauan Kembali (PK-red) dan dimenangkan. Tapi anehnya, kemudian keluar PK kedua yang mengalahkan saya. Saya laporkan hakimnya ke polisi tetapi kemudian kepolisian mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan karena adanya surat edaran dari Ketua MA. Saya merasa dirugikan," tutur Cahyo. Untuk itu, ia meminta agar UU MA khusus pasal 11 ayat 1, pasal 12 ayat 1,2 dan pasal 13 ayat 1 dan 2, menyangkut kalimat "atas usul Ketua/Mahkamah Agung" agar dihapus dan diganti menjadi "atal usul Komisi Yudisial". Cahyo menganggap pasal 32 ayat 2, menyangkut kalimat "Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim" bertentangan dengan Pasal 34 ayat 3 UU No 4 Tahun 2004 dan UU KY khusus pasal 21, pasal 22 ayat 1e. Cahyo juga meminta agar pasal 23 ayat 3,4,5,6 UU KY khusus kalimat "atas usul Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung" diganti menjadi "atas usul Komisi Yudisial kepada Presdien" karena pasal dan ayat dari kedua UU tersebut bertentangan dengan pasal 24B ayat 1, pasal 28D ayat 1 dan pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Oleh karena itu, FX Cahyo Baroto meminta agar UU tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun, majelis hakim konstitusi yang diketuai I Dewa Palguna mengatakan agar pemohon memperbaiki permohonannya karena menurut majelis hakim, permohonan itu tidak jelas menyebutkan pelanggaran hak konstitusional pemohon. Majelis mengatakan jika hak konstitusional pemohon dilanggar karena adanya surat edaran Ketua MA, bukan karena UU yang diajukan untuk diuji materil, bukan kewenangan MK untuk menyidangkannya. Selain itu, pemohon mengajukan usul pergantian kalimat dalam pasal UU yang diajukannya. Sedangkan MK, tidak berwenang untuk melakukan itu dan hanya bisa menyatakan pasal dalam suatu UU tidak mengikat. Dengan permohonan yang diajukan, Dewa Palguna menambahkan, pemohon berarti juga meminta MK untuk menilai putusan MA yang di luar wewenang MK. Majelis konstitusi akhirnya memberi kesempatan kepada pemohon selama dua pekan untuk memperbaiki permohonannya. Perkara dengan materi permohonan yang sama pernah diajukan ke MK pada 2005 dan dinyatakan tidak dapat diterima karena kedudukan hukum pemohon dianggap tidak ada. Sebanyak 31 hakim agung juga mengajukan uji materil UU KY ke MK karena mempermasalahkan lingkup pengawasan KY yang menurut mereka tidak mencakup hakim agung. Saat ini, perkara tersebut masih ditangani oleh MK. (*)
Copyright © ANTARA 2006