Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis forensik Baety Adhayati menjelaskan bekas luka pada korban yang kondisinya bergantung pada waktu kejadian menjadi kendala yang kerap ditemui di dalam pembuktian forensik terkait dengan kasus kekerasan seksual.
“Kasus-kasus yang baru, misalnya terjadi beberapa hari atau saat hari itu terjadi langsung lapor, itu jarang sekali terjadi atau misalnya dalam kurun waktu seminggu dua minggu, terus lapor itu termasuk yang jarang,” kata Baety yang juga Wakil Sekjen Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) dalam media briefing secara virtual diikuti di Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan biasanya korban kekerasan seksual tidak segera memeriksakan diri ke dokter, sehingga bukti-bukti penting seperti adanya ejakulat dalam alat kelamin atau di bagian tubuh lainnya sudah menghilang.
Dia mengakui idealnya pemeriksaan luka oleh dokter dilakukan sesegera mungkin setelah kejadian, sehingga probabilitas penemuan bukti forensik lebih tinggi. Baety juga memahami bahwa tidak mudah bagi korban mempertimbangkan dan memutuskan untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami.
Baca juga: LPSK: Atasi kekerasan seksual Luwu Timur dengan forensik profesional
Korban baru mendatangi dokter ketika peristiwa kekerasan sudah berlalu sekian lama, bahkan hingga tahunan, sehingga bekas luka di tubuh korban tidak ditemukan karena sudah sembuh dengan sendirinya. Dalam beberapa kasus seperti pada korban anak, pihak orang tua, bahkan baru menyadari bertahun-tahun kemudian ketika didapati perubahan perilaku pada anak.
“Sehingga, agak sulit juga pembuktiannya. Kadang-kadang masih ditemukan luka lama tapi lebih sering tidak ketemu apa-apa, karena lukanya sudah sembuh, sudah tidak kelihatan,” ujar Baety.
Baety membagi tanda kekerasan atau bekas luka menjadi dua kategori, yaitu luka baru dan luka lama. Biasanya luka baru dapat berupa memar, luka lecet, luka terbuka, serta robekan selaput dara. Sementara luka lama yang mungkin bisa ditelusuri seperti bekas luka lama serta robekan lama.
“Biasanya kami lihat kasusnya, kejadiannya lama atau baru. Nanti kami lihat luka yang ditemukan relevan atau tidak dengan kejadian, apakah ini ditemukan luka baru atau luka lama,” katanya.
Dalam beberapa kasus, kata Baety, terkadang terdapat pula korban yang memeriksakan kondisi luka ke pihak bukan dokter atau pihak yang tidak kompeten untuk menilai luka. Yang menjadi permasalahan, korban kebingungan dan malah dioper dari satu tempat pemeriksaan ke tempat lainnya hingga pada akhirnya korban menyerah.
“Kadang-kadang yang seperti ini kan melelahkan juga untuk korban dan keluarga, sehingga akhirnya mereka tidak jadi lapor atau tidak jadi datang ke tempat rujukan,” ujar Baety.
Menurut dia, idealnya fasilitas kesehatan yang menyediakan pemeriksaan forensik mengedepankan hak privasi dan kenyamanan korban seperti tidak berdekatan atau bercampur dengan poli lainnya yang umum dikunjungi banyak orang.
Baca juga: Tim forensik sulit ungkap bekas kekerasan seksual pada Angeline
Baca juga: PPNI minta polisi uji digital forensik video pelecehan oleh perawat
Fasilitas pemeriksaan yang ideal biasanya tersedia di rumah sakit tipe A. Namun sayangnya, fasilitas kesehatan yang berada di daerah belum semuanya mampu memiliki ruang khusus untuk pemeriksaan forensik korban kekerasan.
“Sebenarnya tidak selalu harus rumah sakit besar atau hanya yang mampu, tidak juga. Kadang-kadang perlu pemahaman dari manajemen rumah sakit juga untuk dapat menyediakan yang representatif, tidak harus bagus, yang penting ada dan representatif,” katanya.
Menurut Baety, dukungan sistem dan infrastruktur penanganan korban kekerasan di tingkat wilayah sangat penting. Dengan begitu, akses bagi korban menjadi lebih mudah.
“Menurut saya yang paling penting adalah dukungan sistem dan infrastruktur penanganan korban kekerasan di tingkat wilayah, sehingga memudahkan korban untuk mendapatkan akses, bantuan untuk mendapatkan pelayanan,” kata Baety.
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022