Depok (ANTARA) - Kepala Program Studi Kajian Terorisme, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) M. Syauqillah, Ph.D., mengatakan keterlibatan korban penyintas dibutuhkan dalam kontra narasi dalam kerangka peacebuilding dan masyarakat diharapkan mampu melakukan pencegahan secara efektif dan optimal terhadap aksi-aksi terorisme.
"Kita bisa memformulasikan keterlibatan penyintas dalam kerangka peacebuilding agar kampanye tidak hanya untuk kontra narasi, tetapi juga untuk deradikalisasi," kata Syauqillah dalam keterangannya, Kamis.
Menurut dia keterlibatan semua stakeholder dalam upaya pencegahan aksi terorisme dan radikalisme bisa dilaksanakan bersama-sama dan menjadi agenda penting yang bisa didorong dalam memperhatikan dua sisi, baik dari korban maupun pelaku.
Baca juga: BNPT libatkan 20 ribu perempuan berkebaya untuk cegah terorisme
Hal tersebut dikatakan ketika diskusi bertajuk “Peringatan 20 Tahun Bom Bali: Perkembangan Terorisme, Kolaborasi Pencegahan, dan Peran Penyintas dalam Mewujudkan Peacebuilding”.
Diskusi yang diselenggarakan oleh SKSG UI terbuka untuk umum secara daring melalui platform Zoom Meeting dan Live Youtube. Diskusi tersebut mengundang beberapa narasumber, yaitu Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Prof. Irfan Idris , Kasubdit Kontra Naratif Direktorat Pencegahan Densus 88 Antiteror Polri, AKBP Mayendra Eka Wardhana, S.H., S.I.K., M.Hum., M.K.P.; Wakil Ketua LPSK, Brigjen. Pol. (Purn) Dr. Achmadi, S.H., M.A.P; Direktur Eksekutif Society Against Radicalism and Violent Extremism (SeRVE) Indonesia, Dete Aliah; dan penyintas Yayasan Penyintas Indonesia (YPI), Suyanto.
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Prof. Irfan Idris mengatakan bahwa ancaman serangan terorisme global terus mengalami dinamika pelibatan wanita dan anak-anak yang menjadi fenomena memprihatinkan bagi kehidupan kemanusiaan dan kelangsungan perdamaian.
Ancaman aksi bom bunuh diri dan serangan bom di negara-negara yang berkonflik dan Indonesia, diharapkan jangan pernah terjadi lagi. Namun, hal ini tetap harus diperhatikan karena banyak pribadi dan kelompok yang terpapar paham radikal, yang menjadikan tafsiran paham keagamaan sebagai alasan legitimasi aksi anarkisme dan ekstremisme mereka.
"Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam upaya perekrutan aksi terorisme, terutama pada generasi muda. Hal tersebut karena generasi muda memiliki militansi yang tinggi, masa depan yang panjang, dan semangat yang tinggi dalam melakukan aksi sesuai kehendak dari kelompok-kelompok radikal," ujar Prof. Irfan.
Terkait proses pencegahan dan pananggulangan ekstremisme dari sudut pandang Densus 88, Kasubdit Kontra Naratif Direktorat Pencegahan Densus 88 Antiteror Polri, AKBP Mayendra Eka Wardhana mengatakan bahwa saat ini global terrorism index masih menempatkan Indonesia di zona orange pada level 24 negara yang rentan terhadap terorisme.
Baca juga: BNPT: Publik waspadai konten ideologi transnasional di medsos
Namun, dengan penanggulangan terorisme yang semakin baik, profesional, dan mengedepankan hukum dan HAM, Indonesia dinilai sebagai salah satu negara yang menjadi role model dalam kehidupan beragama.
Pada era teknologi informasi dan komunikasi saat ini, media sosial dapat digunakan untuk memberikan sebuah perspektif dalam mengkaji secara paradigma doktrin daripada radikalisme atau terorisme.
Wakil Ketua LPSK, Brigjen. Pol. (Purn) Dr. Achmadi mengatakan, sensitivitas masyarakat harus dibangun dalam melakukan upaya-upaya peningkatan kualitas hidup melalui berbagai kerja sama.
Dengan demikian, hak-hak korban, khususnya dalam konteks sosial, dapat dipenuhi. Dalam mewujudkan peacebuilding, kerja sama dan dukungan dari berbagai stakeholders penting untuk mewujudkan hubungan atau situasi yang harmonis, sinergis, dan terjalin secara berkelanjutan.
Sebagai perwakilan penyintas, Suyanto membagikan pengalamannya setelah menjadi korban tragedi Bom Bali. Menurutnya, tragedi tersebut tidak hanya berdampak bagi dirinya, tetapi juga bagi keluarga.
Ia juga mengalami kerugian secara fisik, psikologis, dan ekonomi. Suyanto bersyukur karena pemerintah memberi bantuan berupa pemulihan fisik dan bantuan psikologis berupa dukungan dari sekitar.
Ia dan rekan-rekannya akhirnya membentuk Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) dalam mengampanyekan pencegahan radikalisme.
Baca juga: Gus Iim: Santri berperan bawa semangat Sumpah Pemuda untuk jaga NKRI
Baca juga: BNPT dalami kejiwaan perempuan bersenjata coba terobos Istana
Pewarta: Feru Lantara
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2022