Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio dalam keterangan di Jakarta, Selasa, mengatakan potensi kelebihan pasokan listrik sekitar 7,4 gigawatt hingga akhir tahun 2022.
"Di sisi lain biaya yang ditanggung atas kelebihan pasokan listrik mencapai Rp3 triliun per gigawatt, sehingga total beban negara mencapai Rp22 triliun," ujarnya.
Agus menuturkan skema power wheeling yang menggunakan energi baru terbarukan di satu sisi memang mendorong setrum bersih, tetapi juga menambah beban pemilik jaringan.
Skema itu diklaim memudahkan transfer energi listrik dari sumber energi terbarukan atau pembangkit non-PLN ke fasilitas operasi perusahaan dengan memanfaatkan jaringan transmisi yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN.
Menurutnya, pemerintah yang telah mencanangkan program 35.000 megawatt perlu mencari jalan keluar yang terbaik, setelah tidak terserapnya pasokan listrik.
Awalnya rencana pembangunan pembangkit 35.000 megawatt tersebut menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen per tahun. Namun, akibat pandemi COVID-19 dan serangkaian dinamika global membuat realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada pada angka 5 persen.
"Pemerintah juga telah menyepakati RUPTL 2021-2030, itu saja yang seharusnya disepakati untuk mendorong penggunaan energi baru terbarukan. Kalau menggunakan skema power wheeling jelas menambah beban negara. Ditambah lagi, di situ juga ada isu liberalisasi,” kata Agus.
Lebih lanjut ia menekankan agar skema power wheeling yang diterapkan di negara lain tidak bisa semata-mata langsung bisa diimplementasikan di Indonesia.
“Sekarang kalau tiba-tiba ada skema ini (power wheeling) yang menanggung itu siapa? Kan negara juga,” pungkasnya.
Baca juga: Komisi VII DPR bawa RUU EBT ke rapat paripurna pekan depan
Baca juga: Tumpang tindih energi fosil dan energi terbarukan di RUU EBT
Baca juga: DPR wacanakan proyek panas bumi masuk tupoksi SKK Migas
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022