Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menaikkan performa dalam Piala Asia 2023 di Qatar,
Jakarta (ANTARA) - Gianni Infantino terpilih sebagai Presiden FIFA pada 2016 setelah pria Swiss berdarah Italia itu bertekad mereformasi FIFA.
Dia ingin FIFA semata diabdikan untuk sepak bola yang dijaga setransparan mungkin guna menjauhkan diri dari korupsi yang sejak lama ditudingkan kepada otoritas sepak bola dunia itu.
Mencalonkan diri pada 2015 setelah pemimpin sebelumnya Sepp Blatter terjerat korupsi sehingga dilarang mengurusi lagi sepak bola, Infantino menawarkan reformasi yang antara lain membatasi masa jabatan presiden dan pejabat-pejabat FIFA sampai maksimal tiga periode.
Begitu terpilih sebagai presiden FIFA, Infantino mengubah nama Komite Eksekutif FIFA dengan Dewan Eksekutif yang bekerja seperti direksi dalam sebuah perusahaan.
Dia juga mendorong transparansi dalam FIFA, termasuk dalam kaitan proses bidding tuan rumah turnamen sepak bola FIFA
Tanpa menggunakan kata "korupsi", Infantino berusaha memutus siklus korupsi yang lama mengakar selama era Sepp Blatter.
Tapi dia pernah dituding korupsi setelah Kejaksaan Agung Swiss memerkarakan pertemuan pribadi dengan Jaksa Agung Swiss Michael Lauber pada Juli 2020. Namun setahun kemudian Kejaksaan Agung Swiss menghentikan penyelidikan ini karena kurang bukti.
Infantino sendiri menegaskan pertemuannya dengan pejabat-pejabat penegak hukum adalah demi menegaskan bahwa FIFA pada masa kepemimpinannya menjunjung transparansi sehingga terjauh dari korupsi.
"Mengapa saya ingin bertemu dengan Jaksa Agung Swiss? Karena saya ingin membebaskan FIFA dari nilai-nilai lama yang beracun," kata Infantino dalam Kongres FIFA pada 2020.
Setahun kemudian, Infantino berbicara di depan Kelompok Kerja Anti-korupsi G20 di Roma, Italia, dengan menjabarkan 11 langkah reformasi FIFA dalam memerangi korupsi, termasuk memperketat proses bidding tuan rumah turnamen FIFA.
Di area inilah, FIFA pernah disorot tajam karena memberikan hak tuan rumah Piala Dunia 2022 kepada Qatar.
Beberapa tahun kemudian, tokoh-tokoh teras FIFA, termasuk Blatter, bertumbangan karena perkara ini, bahkan ada yang dipenjara dan dilarang mengurusi sepak bola.
Walau dalam statuta FIFA yang baru menghilangkan kata "korupsi", transparansi seperti ditawarkan Infantino adalah salah satu cara terampuh dalam mengubah perilaku korup dan sekaligus mereformasi FIFA dari kultur busuk nan korup.
Infantino pastinya berharap reformasi atau transformasi, dan transparansi, yang terus dilakukannya di dalam FIFA menular ke semua asosiasi sepak bola kawasan dan nasional, termasuk Indonesia.
Transparansi dan transformasi, serta gebrakan-gebrakan yang bersandar kepada kedua aspek itu telah mengantarkan Infantino menjabat presiden FIFA dalam dua periode terakhir. Dia mencalonkan diri untuk periode ketiga dan sejauh ini sudah didukung Asia (AFC), Amerika Selatan (Conmebol), dan Afrika (CAF).
Hadir demi Indonesia
Transformasi pula yang dia tawarkan kepada Indonesia setelah sepak bola Indonesia diguncang Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober yang merenggut nyawa 135 orang.
Seraya menyebut Indonesia negara sepak bola dengan 150 juta penggemar sepak bola saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo pada 18 Oktober, Infantino berkata, "FIFA hadir di sini demi rakyat Indonesia, FIFA akan tinggal dan bekerja di sini untuk mentransformasi sepak bola Indonesia."
Presiden Jokowi sendiri menegaskan FIFA akan berinvestasi dalam banyak hal untuk mengembangkan sepak bola Indonesia, dengan cara membantu menerapkan standar keselamatan sepak bola Indonesia, manajemen suporter, pembangunan stadion, dan pengembangan sekolah sepak bola.
Semuanya akan dibicarakan lebih detail lagi dalam pertemuan Jokowi dan Infantino berikutnya yang mungkin terjadi di Qatar saat Piala Dunia 2022 atau di Bali saat KTT G20. Jokowi diundang Infantino ke Qatar guna menghadiri Piala Dunia 2022, sebaliknya Infantino diundang menghadiri KTT G20 di Bali.
Akan tetapi dari keempat hal yang disampaikan Presiden Jokowi, tampaknya arah transformasi sepak bola Indonesia agak bisa terpetakan.
Keselamatan sepak bola menjadi kesempatan menciptakan standar yang disepakati dan diketahui bersama untuk kemudian dijalankan bersama sehingga semua pemangku kepentingan di Indonesia memahami tugas-tugasnya.
Ini bukan hanya soal prosedur dan fisik, namun juga menyangkut perubahan pola pikir dan prilaku yang lebih baik.
Demikian juga manajemen suporter. Ini bisa tentang seberapa kuat klub mengelola basis penggemar mereka dan seberapa besar pemangku kepentingan termasuk PSSI dan pemerintah, berusaha memastikan hadirnya budaya baru menikmati sepak bola yang lebih menyelamatkan namun tetap menyenangkan siapa pun.
Sementara pembangunan stadion bisa berkaitan dengan perubahan paradigma membangun serta mengelola stadion yang bisa mendorong pemerintah daerah yang kebanyakan memiliki stadion-stadion sepak bola, memiliki pola pikir yang baru pula. Akan tetapi itu juga bisa menjadi tiket untuk mengawali babak baru yang mana klub-klub juga memiliki stadion sendiri.
Akan halnya pengembangan sekolah sepak bola. Ini bisa berkaitan dengan komitmen semua pihak dalam membuat sistem pembibitan yang efektif, inklusif dan berkesinambungan, yang melibatkan klub, PSSI, pemerintah daerah, dunia pendidikan, bahkan dunia usaha.
Namun satu hal yang mesti membungkus semua ini adalah prinsip transparansi yang selalu penting bagi lingkungan yang berusaha berubah secara transformatif seperti diinginkan Indonesia dari dunia sepak bolanya.
Apalagi sepak bola juga berkaitan dengan lalu lintas uang yang demikian banyak, karena menyangkut transfer pemain, tiket, iklan, sponsor, hak siar, dan banyak lagi. Belum dampak ikutan atau multiplier effect-nya.
Level lebih tinggi
Di atas itu semua, sepak bola Indonesia memang semestinya berubah. Indikatornya terlihat pada prestasinya, baik dalam tingkat klub maupun tim nasional.
Dalam tingkat klub, sekalipun menjadi salah satu liga sepak bola dengan penggemar terbanyak di dunia, level Liga 1 Indonesia masih di bawah Vietnam dan Thailand.
Menurut TeamForm, peringkat Liga 1 Indonesia di Asia adalah 37. Angka ini masih di bawah Vietnam (35) dan divisi kedua Thailand (33), apalagi dibandingkan dengan Thai League atau liga utama Thailand yang memiliki peringkat 16.
Ini memiliki korelasi dengan kiprah klub-klub Indonesia dalam Liga Champions Asia yang tak mengilap.
Sejak 2012, klub-klub Indonesia tak bisa masuk fase grup Liga Champions Asia. Pencapaian tertinggi adalah fase grup dalam kurun 2004-2011.
Dalam level timnas juga begitu. Pada tingkat Piala Dunia, kecuali Hindia Belanda pada 1938, Indonesia belum pernah mengikuti putaran final Piala Dunia. Pun Olimpiade, kecuali perempat final Olimpiade Melbourne 1956.
Pada Piala Asia, setelah mundur pada edisi 1956, 1960 dan 1964, Indonesia baru lima kali masuk lagi Piala Asia termasuk Piala Asia 2023 dari 15 kesempatan.
Adapun dalam Asia Games, prestasi tertinggi dicapai pada 1958 ketika meraih medali perunggu, dua kali posisi keempat pada 1954 dan 1986, tiga kali perempat final 1951, 1966, dan 1970. Dua edisi terakhir pada 2014 dan 2018 mencapai 16 besar.
Di Asia Tenggara, Indonesia juga belum pernah menjuarai Piala AFF sekalipun enam kali mencapai final turnamen ini. Namun dalam SEA Games pernah dua kali meraih medali emas pada 1987 dan 1991.
Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menaikkan performa dalam Piala Asia 2023 di Qatar, sementara Piala Dunia U20 bisa menjadi ajang untuk membantu mengerek sepak bola nasional ke level lebih tinggi.
Dan kesempatan besar itu menjadi lebih indah lagi jika saat bersamaan sepak bola Indonesia mentransformasi diri walau mesti diawali dari stadion. Transformasi sepak bola Inggris pun diawali dari perubahan di stadion menyusul Tragedi Hillsborough pada 1989.
Kini, tekad besar pemerintah Indonesia dalam memperbaiki iklim sepak bola nasional, dan dukungan FIFA era Gianni Infantino yang berusaha keras mengubah lingkungan FIFA tak lagi toksik seperti dulu, bisa menjadi perpaduan kekuatan yang bisa turut meningkatkan kualitas permainan sepak bola dan kualitas pengelolaan sepak bola Indonesia.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022