Jakarta (ANTARA News) - Paula Makabori, aktivis Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) perwakilan Papua, diduga terlibat dalam kampanye pro Papua merdeka di Australia dengan memanfaatkan visa biasa dan undangan kelompok-kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM) di negara kangguru itu. "Yang bersangkutan (Paula Makabori) memanfaatkan visa biasa (visa turis atau sosial budaya) untuk menghadiri pertemuan politis dengan kelompok LSM yang mendukung Papua merdeka pada 23 Maret 2006 dan menghadiri kampanye pro Papua merdeka pada 2 April 2006," kata seorang warga Indonesia di Melbourne. Kepada ANTARA News yang menghubunginya dari Jakarta, Selasa sore, warga Indonesia yang tidak bersdia dituliskan namanya itu menyebutkan, Paula Makabori tampil menjadi pembicara tamu dalam satu kampanye dan aksi demonstrasi di tengah kota Melbourne yang turut dihadiri Senator Bob Brown dari Partai Hijau Australia. "Paula menjadi tamu mereka. Ia ikut menari dan berbicara di podium, dan kita sempat mengabadikan beberapa fotonya," katanya. Aktivis Elsam Papua itu, lanjutnya, memanfaatkan undangan-undangan dari mitra kerjanya di Australia untuk memuluskan agenda-agenda politisnya, termasuk menghadiri pertemuan tertutup di "Victoria College of Art" (lembaga pendidikan seni) yang menjadi afiliasi Universitas Melbourne, katanya. Dalam pertemuan tertutup di kampus itu, beberapa anak muda Papua pro-kemerdekaan juga turut hadir. "Rapat di college (kolese) ini adalah rapat koordinasi dengan mengundang beberapa anggota staf yang mendukung kelompok Papua merdeka, termasuk dari Green Party (Partai Hijau)," katanya. Selain Senator Bob Brown, warga Australia lain yang mendukung gerakan pemisahan Papua Barat dari Negara Kesatuan RI adalah Pendeta Peter Woods di Gereja Anglican Melbourne. Pendeta Peter yang belum lama ini datang ke Jayapura atas undangan salah satu gereja di kota itu ikut aktif sebagai pendukung kegiatan-kegiatan kelompok itu, termasuk memberikan kesaksian tentang insiden Abepura yang menewaskan empat aparat keamanan Indonesia itu. "Saat kejadian Abepura, dia ada di sana dan mengabadikan kejadian itu. Sekembalinya ke Australia, dia menjadi pembicara yang memberikan kesaksian pada 2 April di Melbourne," katanya. Inti dari cerita Pendeta Peter itu adalah terjadi penindasan (terhadap mahasiswa). Namun, dia sama sekali tidak menyinggung perlakuan keji kelompok massa yang membunuh sejumlah aparat Polri dan TNI-AU dalam insiden yang terjadi di depan Kampus Universitas Cendrawasih itu. Pendeta Peter Woods juga merupakan pendukung 42 orang pencari suaka politik dari Provinsi Papua yang mendapat visa menetap sementara dari Pemerintah Federal Australia belum lama ini, katanya. Para pendukung upaya pemisahan Papua Barat dari Indonesia itu sudah mempunyai jadwal kegiatan yang padat. "Baru kemarin saja, ada pagelaran musik Papua di Melbourne untuk menggalang dana. Dalam pagelaran yang berlangsung di Central Club Hotel terletak di Jalan Swan, Richmond Suburb, Melbourne, ini, ditampilkan beberapa grup band, termasuk Black Brothers," katanya. Namun yang kontras dari dukungan LSM Australia dan Pendeta Peter Woods adalah demonstrasi warga Aborigin, penduduk asli Australia, yang berlangsung selama berminggu-minggu sejak pembukaan pesta olahraga negara-negara persemakmuran di Melbourne (15-26 Maret 2006). Para aktivis Aborigin itu menginap di tenda-tenda di kawasan taman kota Melbourne. Mereka menuntut perhatian pemerintah atas nasib rakyat Aborigin, katanya. Menanggapi demonstrasi berminggu-minggu itu, ia mengatakan, pemerintah kota sudah mengancam para aktivis Aborigin itu dengan denda 50 ribu Australia dollar jika mereka tetap tinggal di tenda-tenda yang berdiri di taman kota. Terkait dengan dukungan Pemerintah Australia terhadap gerakan separatis Papua Barat, seperti dalam pemberian visa kepada 42 pencari suaka politik asal Provinsi Papua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sudah meminta kerjasama dan hubungan dengan Australia agar dikaji ulang sampai tercapai hubungan yang adil antar kedua negara. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006