Lewat proses restorative justice ini kami membebaskan warga yang sebelumnya ... ditahan

Bengkulu (ANTARA) - Matahari nyaris di atas kepala saat Hamdi mempersiapkan peralatan dan kendaraan roda dua, bersiap menuju lahan garapannya untuk memanen sawit yang harganya mulai membaik.

Ia sengaja berangkat agak siang, menunggu jalan tanah yang basah dan licin sedikit mengeras dijemur Matahari setelah tadi malam Desa Talang Arah Kecamatan Malin Deman Kabupaten Mukomuko Bengkulu diguyur hujan.

Namun belum sempat ia berangkat, Kepala Desa Talang Arah, Lamto, muncul di depan pintu rumah dan memanggil Hamdi. Lamto mengeluarkan amplop berisi selembar kertas lalu diserahkan ke Hamdi. Tanpa banyak tanya, Hamdi membuka amplop dan membaca surat tersebut.

“Ada surat panggilan dari Polres Mukomuko, besok diminta datang ke Polres,” kata Lamto singkat.

Setelah membaca surat panggilan tersebut Hamdi terduduk dan urung berangkat ke lahan garapan. Ia memperhatikan dengan saksama isi surat di tangannya. Dalam surat tersebut tertera perihal permintaan keterangan berdasarkan laporan polisi Nomor: LP/B/556/IX/2022/SPKT/Polres Mukomuko/Polda Bengkulu, tanggal 20 September 2022.

Dalam surat itu, Hamdi dan tiga buruh panen sawit di lahan garapannya yakni Randa Fernando, Muhtar, dan Dosi Saputra dilaporkan ke polisi sebagai pencuri buah sawit oleh manajemen perusahaan PT Daria Dharma Putra (DDP). Mereka pun diminta hadir di Polres Mukomuko dimintai keterangan sebagai saksi.

Pada 5 Oktober 2022 pukul 14.15 WIB Hamdi dan ketiga pekerja upahan di kebunnya datang ke Polres Mukomuko dan menghadap penyidik yang namanya telah disebutkan dalam surat.

Kanit Pidum Aiptu Madyana minta Hamdi masuk ke ruangan penyidik. Setelah diperiksa kurang lebih 4 jam, mereka berempat diminta menunggu di luar ruangan karena akan berlangsung gelar perkara.

Dua jam kemudian penyidik memanggil keempat terperiksa beserta kuasa hukum petani, Saman Lating, dan menyampaikan hasil gelar perkara bahwa keempat orang itu ditetapkan tersangka dikenakan Pasal 363 KUHP tentang Tindak Pidana Pencurian.

“Penetapan mereka sebagai tersangka tidak bisa dilakukan karena Hamdi sudah menggarap lahan itu bertahun-tahun bahkan sebelum PT DDP hadir di sana,” kata Saman Lating akhir pekan lalu.

Penahanan keempat orang itu membuat petani lainnya yang selama ini berkonflik dengan PT DDP secara spontan mendatangi kantor polisi untuk menjenguk keempat petani itu. Beberapa hari sebelumnya dua petani lainnya juga ditangkap dengan tuduhan yang sama.

Sehari pasca-penahanan para petani, Saman Lating pun berupaya menemui Kapolres Mukomuko AKBP Nuswanto untuk menjelaskan duduk perkara karena menurutnya para petani tersebut berpotensi jadi korban kriminalisasi.

Setelah bertemu Kapolres dan menjelaskan kronologi kasus lalu digelar mediasi antara kuasa hukum petani dengan perwakilan PT DDP yang disaksikan Ketua DPRD Kabupaten Mukomuko Ali Saftaini.

Proses mediasi berlangsung cukup panjang namun akhirnya tercapai kesepakatan membebaskan para petani lewat mekanisme keadilan restoratif (restorative justice). Salah satu poin kesepakatan yang dicapai adalah tidak akan melakukan penuntutan hukum dan akan menyelesaikan secara kekeluargaan.

“Lewat proses restorative justice ini kami membebaskan warga yang sebelumnya ditetapkan sebagai terduga pelaku dan sempat ditahan," kata Kapolres Mukomuko AKBP Nuswanto.

Konflik menahun
Konflik lahan antara masyarakat Kecamatan Malin Deman dengan PT DDP sudah berlangsung cukup lama. Kuasa hukum petani Saman Lating yang juga Direktur Analisis Kebijakan dan Litigasi Kanopi Hijau Indonesia menyebutkan konflik lahan antara PT DDP dengan petani terjadi sejak 1986 ketika wilayah adat Pekal Malin Deman dicaplok menjadi HGU PT Bina Bumi Sejahtera (BBS).

Pada 1991-1992, PT BBS mulai mengukur lahan di sela penolakan warga. Selanjutnya pada 1 Agustus 1995 petugas pertanahan Kabupaten Bengkulu Utara menerbitkan sertifikat HGU atas nama PT BBS seluas 1.889 hektare dengan jenis komoditas kakao. Dari luasan HGU tersebut perusahaan hanya mampu menggarap 340 hektare yang ditanami kakao.

Kemudian pada 1997 PT BBS menghentikan aktivitas perkebunan lalu menelantarkan lahan tersebut. Sejak itu warga mulai menggarap lahan yang ditelantarkan tersebut dengan bertanam kelapa sawit, karet, jengkol, durian, dan tanaman lainnya.

Tensi konflik kembali meningkat pada 2005 ketika PT DDP muncul dan mengklaim telah membeli PT BBS. Selanjutnya PT DDP mulai menggarap lahan dengan cara menggusur dan memaksa petani menerima kompensasi. Perusahaan baru ini menanam kelapa sawit atau berbeda dengan jenis komoditas HGU PT BBS yakni kakao.

Kepala Bidang Pengendalian dan Penanganan Sengketa Kantor Wilayah Kementerian ATR/BPN Provinsi Bengkulu Yustin Iskandar Muda mengatakan konflik petani dengan PT DDP sedang dalam proses penyelesaian.

“Kami sudah bertemu dengan para pihak di Kabupaten Mukomuko untuk menyelesaikan konflik antara perusahaan dengan petani,” kata Yustin.

Penyelesaian konflik lahan antara petani dan PT DDP telah mencapai beberapa opsi, antara lain, melepaskan sebagian lahan untuk petani namun masih dalam proses. Yustin mengatakan penuntasan konflik menjadi syarat mutlak dalam perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) bagi perusahaan.

Perpanjangan HGU, menurut dia, pasti tidak akan dikeluarkan selama konflik masih ada di lapangan. Jadi, perusahaan dimediasi pemerintah daerah harus membereskan konfliknya.

Sepanjang tahun 2021, terdapat 59 kasus yang ditangani Kantor ATR/BPN Wilayah Bengkulu yang terdiri dari dua konflik,16 sengketa, dan 41 perkara.

Konflik agraria timbul akibat adanya ketimpangan kepemilikan dan penguasaan serta pengelolaan sumber-sumber agraria.

Dalam penyelesaiannya, BPN Bengkulu mengoptimalkan peran Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) sebagai pelaksana reforma agraria yang bertujuan mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah.

Kemudian, dalam menyelesaikan konflik agraria ini, pihaknya juga mempertimbangkan riwayat HGU yang dimiliki perusahaan dan riwayat penguasaan fisik yang dimiliki masyarakat.

Jalan damai

Penyelesaian perkara di luar pengadilan atau disebut restorative justice merupakan salah satu prinsip penegakan hukum yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.

Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, terdapat beberapa syarat dalam keadilan restoratif, yaitu tindak pidana yang baru pertama kali dilakukan, kerugian di bawah Rp2,5 juta, adanya kesepakatan antara pelaku dan korban, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.

Hukum yang digunakan dalam keadilan restoratif tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak sewenang-wenang, dan hanya berpihak pada kebenaran sesuai peraturan perundang-undangan serta mempertimbangkan kesetaraan hak kompensasi dan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bengkulu Elfahmi Lubis mengatakan perlu penyelesaian konflik secara menyeluruh sehingga peristiwa serupa tidak terus terulang. Penangkapan 40 petani setahun lalu yang juga berkonflik dengan PT DDP, diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif.

Diperlukan upaya nyata dan komprehensif untuk mengurai akar persoalan konflik serta mencari solusi permanen.

“Perlu tindakan segera untuk menyelesaikan akar masalah agar penangkapan petani tidak terulang,” katanya.

Untuk memahami penyebab terjadinya konflik agraria, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa berlaku prinsip keadilan sosial, yang intinya mengharuskan semua orang berhak atas persamaan untuk mengakses kesejahteraan, kesehatan, keadilan, privasi, dan peluang, tanpa memandang status hukum, politik, ekonomi, serta kondisi lain.

Adapun kelima prinsip tersebut ialah mendapatkan akses, equity atau keberpihakan, diversity atau keanekaragaman, participation atau partisipasi, dan human right atau hak asasi manusia.

“Keadilan restoratif dan penyelesaian lewat mediasi untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dalam hal pengelolaan SDA adalah metode yang paling tepat,” katanya.

Oleh karena itu perlu dibentuk Direktorat Jenderal Konflik di Kementerian Hukum dan HAM yang khusus menangani konflik sumber daya alam yang memiliki karakter khusus.

Kuasa hukum petani Saman Lating mengatakan perdamaian yang difasilitasi Polres Mukomuko menyepakati empat poin. Kedua pihak memiliki iktikad baik dan bersama-sama berkehendak untuk mengakhiri permasalahan secara kekeluargaan, untuk itu kedua belah pihak telah setuju dan mufakat untuk mengadakan penyelesaian masalah tersebut.

Poin kedua, kedua pihak bersedia saling memaafkan dari hati nurani dan bersedia hidup rukun dengan damai. Ketiga, bahwa pihak kedua setelah dilaksanakannya keadilan restoratif sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 08 tahun 2021 oleh kepolisian Resor Mukomuko wajib menyampaikan klarifikasi kepada para pihak bahwa laporan yang masing-masing sampaikan ke Polres Mukomuko telah diselesaikan secara kekeluargaan.

Poin keempat, bahwa setelah ditandatanganinya surat kesepakatan perdamaian ini, maka para pihak bersepakat menyatakan permasalahan ini selesai dan kedua belah pihak tidak akan mengajukan tuntutan hukum. Adapun masing-masing laporan yang telah disampaikan ke pihak Polres Mukomuko dianggap selesai dengan ditandatanganinya surat kesepakatan perdamaian ini.

Setelah kesepakatan damai yang terwujud atas fasilitasi Polres Mukomuko, pihak terlapor dan pelapor sepakat untuk bertemu kembali pada pekan pertama November 2022 untuk mengurai akar masalah konflik lahan tersebut dan mencari solusi bersama.





Editor: Achmad Zaenal M




Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022