Jakarta (ANTARA) - Kurang dari satu bulan lagi Indonesia akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. Perhelatan itu menjadi puncak presidensi Indonesia pada forum 20 negara dan kawasan dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut dalam satu tahun terakhir.
Saat Indonesia menerima tongkat estafet presidensi dari Italia tahun lalu, dunia dihadapkan pada pandemi COVID-19, sebuah situasi yang memaksa dunia untuk menjalankan langkah-langkah darurat. Namun, usai Indonesia mengumumkan berbagai fokus dalam presidensinya, situasi lain telah terjadi, yakni perang Rusia dan Ukraina.
Berikut adalah wawancara khusus ANTARA dengan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi terkait berbagai persiapan KTT G20 hingga tantangan yang masih dihadapi hingga saat ini.
ANTARA: Kurang lebih 150 pertemuan G20 telah dilakukan atau sedang berlangsung, termasuk pertemuan tingkat menteri luar negeri. Apa hasil pertemuan-pertemuan tersebut dan apa yang bisa ditindaklanjuti secara konkret?
Menlu RI: Kira-kira tinggal satu bulan lagi kita akan menjadi tuan rumah sebuah perhelatan besar, KTT G20 bulan November tanggal 15-16 di Bali, dan ini adalah puncak dari presidensi Indonesia.
Dan sekaligus di KTT itu, kita akan menyerahterimakan presidensi kepada India. Kalau kita tarik ke belakang, memang sudah banyak sekali pertemuan-pertemuan yang kita lakukan baik pada tingkat menteri, tidak saja menteri luar negeri, tetapi banyak sekali menteri teknis lain pada tingkat working group, pada tingkat SOM, banyak sekali, jumlahnya ratusan plus side events. Side events-nya juga sangat luar biasa.
Mengenai masalah pertemuan tingkat menteri luar negeri, ada beberapa hal yang perlu saya garisbawahi.
Bulan Juli saya ingat betul situasi sangat panas, jadi bahwasannya di titik itu, di pertemuan menteri luar negeri, semua menteri luar negeri G20 maupun undangan semua hadir.
Nah, mungkin kalau dalam kondisi biasa (dan) normal kita sering lihat juga pertemuan itu tidak dihadiri oleh semua, jadi it’s like magic bahwa di tengah situasi yang sangat sulit kita bisa menghadirkan semua menteri luar negeri. Pertanyaannya, kok bisa? Jadi ini perlu sebuah proses yang sangat luar biasa, jadi kalau di dunia kami, di dunia diplomasi, sebuah peristiwa itu tidak muncul atau tidak terjadi begitu saja.
Misalnya, pertemuan menteri luar negeri. Semua menteri luar negeri datang, tapi di balik itu, proses persiapannya itu sangat luar biasa dan it took me months untuk bicara dengan para menteri luar negeri G20 satu persatu.
Saya mendengarkan, sebagai presiden G20, kita mendengarkan. Dari mendengarkan itu, kita tahu perbedaannya ada di mana, sebesar apa gap-nya, di situlah kita mencoba untuk membangun jembatan-jembatan.
Memang tidak mudah di saat ini untuk membangun jembatan karena gap-nya sangat besar tapi at least yang dapat kita lakukan, kalau toh kita tidak membangun jembatan, adalah menciptakan situasi di mana semua pihak merasa nyaman, tidak semakin panas. Jadi, kita jangan pernah berfungsi sebagai kompor, kalau kita presidennya kompor, ya sudah meledak saja dari kapan-kapan.
Tapi, kita coba ciptakan situasi yang kondusif sehingga mereka mau bertemu. Duduk di satu ruangan dan mereka mendebatkan isu yang sensitif dan I think the foreign ministers meeting of the G20 adalah pertemuan besar yang pertama yang bisa mendudukkan negara-negara G20, termasuk negara yang sedang bersengketa di dalam satu ruangan.
Nah, apa yang terjadi di Ukraina saat ini merupakan sebuah pengingat bagi kita semua bahwa kalau kita tidak meng-uphold, tidak mengimplementasikan apa yang dinamakan multilateralism, maka kita dapat pastikan bahwa situasi dunia pasti akan carut marut.
Kenapa kita yakin multilateralism is, at least now, is the best mechanism? Karena dalam multilateralisme semua negara berdiri secara equal. Karena kalau yang berlangsung adalah unilateralism, yang akan terjadi adalah the mighty takes all, yang kuat yang akan menang. Itu yang kita tidak kehendaki dan itulah sebenarnya latar belakang kalau kita tarik kenapa PBB didirikan, itu adalah alasannya.
Inilah yang kita bawa dalam pertemuan menteri luar negeri G20 mengenai multilateralism dan bagus bahwa pada saat itu semua memiliki komitmen. Di sana-sini ada kekurangannya, it’s fine it’s inevitable, tetapi komitmen untuk meng-uphold multilateralism remains very bold, bagus.
Kemudian kita tidak menutup mata, para menteri luar negeri ini tidak hanya bicara mengenai politik, karena semakin ke sini, antara politik dan ekonomi tidak bisa dipisah dengan tembok baja, saling berkait, maka pada saat itu kita juga bicara mengenai masalah krisis ketahanan energi dan ketahanan pangan. Nah, ketahanan, multilateralism ini akan menjadi ruh besar sampai pelaksanaan KTT G20 nanti.
Sementara, isu energi dan pangan akan menjadi topik pertama diskusi para pemimpin G20 pada saat KTT nanti. Jadi semuanya ini mengalir, sangat berhubungan, dan nanti tentunya puncaknya akan ada di KTT.
Dalam pertemuan tersebut, para menlu melihat bahwa krisis pangan dan energi ini memang sudah cukup nyata dan menilai bahwa multilateralism merupakan salah satu jawaban untuk menghadapi hal tersebut secara bersama-sama?
Iya, kesadaran ada, tetapi kadang-kadang memang ego politik muncul lebih tebal, lebih kentara. Memang komunikasi, negosiasi, bicara takes time untuk meyakinkan, untuk membuktikan bahwa this is the best way to address the issue.
Oleh karena itu, kita mencoba lagi, mencoba lagi, di titik itu kita kalau pada bulan Juli itu, kita sudah tahu bahwa krisis pangan dan energi sudah kelihatan dan akan semakin memburuk kalau perang tidak dihentikan. Call-nya tentunya, high-call-nya perang dihentikan, dan oleh karena itu, Bapak Presiden juga berusaha untuk menyampaikan pesan perdamaian itu. Presiden 'kan juga menjadi salah satu anggota dari Global Crisis Response Group (GCRG) yang dibentuk oleh Sekjen PBB, di mana Presiden Indonesia adalah salah satu champion-nya.
Nah, di dalam GCRG ini ada tiga hal yang dibahas atau diidentifikasi permasalahannya dan upaya untuk menyelesaikan. Satu adalah krisis energi, dua adalah krisis pangan, dan yang ketiga adalah keuangan. Dan di situlah peran Bapak Presiden cukup banyak di dalam grup yang dinamakan GCRG ini, bagaimana kita berkontribusi bagi penanggulangan krisis pangan, krisis energi, dan keuangan.
Itu akhirnya yang membuat isu prioritas soal kesehatan lalu soal transisi energi menjadi salah satu fokus?
Sebenarnya kalau kita lihat pada saat kita mengambil alih presidensi dari Italia, saat itu dunia dihadapkan pada satu tantangan besar, jumlahnya satu tapi besar sekali, yaitu pandemi COVID-19.
Nah, lagi-lagi isu kesehatan berdampak pada situasi ekonomi. Ekonomi dunia collapse. Di situlah titik di mana kita mengambil alih presidensi. Itu bulan Desember, oleh karena itu, di titik itu kita kemudian menyampaikan tiga prioritas, yaitu masalah kesehatan, masalah transformasi digital, terus kemudian mengenai masalah energi.
Tiba-tiba ada kejadian luar biasa bulan Februari, perang di Ukrania. Dampaknya tidak hanya pada energi, keuangan, tapi terutama adalah pangan karena Rusia, Ukraina, ditambah Belarus memiliki kontribusi yang besar dalam rantai pasok pangan dan pupuk dunia. Oleh karena itu, akan sangat aneh kalau presidensi Indonesia tidak bahas masalah pangan.
Maka, pangan ini adalah additional topic yang dibahas di dalam rangkaian pertemuan G20 dan akan bermuara di KTT.
Dan tadi juga disampaikan, di titik Desember itu. Karena pandemi, kita ingin pemulihan ekonomi secara lebih kuat, maka (Indonesia) mengambil tema ‘Recover Together, Recover Stronger’ dan ini memiliki makna yang sangat dalam.
Dukungan (dari negara lain) sangat kuat, semua negara memberikan dukungan yang sangat kuat bagi tema bagi prioritas Indonesia, dan sejauh ini mereka tetap memberikan dukungan yang kuat terhadap presidensi Indonesia.
Itu sebenarnya yang menggembirakan kita, dalam artian di tengah situasi yang sulit kita masih bisa bicara, masih melihat bahwa mereka mendukung kita dan komunikasi yang kita lakukan. Jadi, di balik semua ini, hampir setiap hari komunikasi kita lakukan dengan mereka.
Pendekatan ekstra personal?
Karena kalau yang ada hanya di atas kertas, di atas meja, di dalam ruangan perundingan, perundingan yang sifatnya formal tanpa ground-work disiapkan itu biasanya akan lebih sulit. Oleh karena itu, selama satu tahun ini hampir setiap hari saya bicara dengan para menteri luar negeri, pada level saya tentunya.
Contoh terakhir pada saat Sidang Majelis Umum PBB. Hampir semua menteri G20 saya ajak bicara lagi tete-a-tete, empat mata. Minggu ini hampir setiap hari saya komunikasi lagi dengan mereka karena setiap hari perubahannya cepat sekali, dinamikanya tinggi sekali, dan semuanya menunjukkan arah yang bukan semakin mudah tapi semakin sulit. Oleh karena itu, kita perlu bicara lagi dan bicara lagi.
Pendekatan ekstra personal tentu punya modal yang cukup besar, ya? Trust?
Iya, betul sekali. Jadi, kita ini dimudahkan karena ada trust yang besar dari para mitra kita di G20 dan saya kira saya bisa katakan dunia memiliki trust yang besar, yang tebal, terhadap Indonesia.
Dan trust itu tentunya bukan sesuatu yang dapat disulap, bukan sesuatu yang jatuh dari pohon, dari langit dengan instan. Ini adalah investasi jangka panjang, investasi yang lama sekali kita lakukan, jadi kita dinilai jadi trusted partner untuk semua dan dengan trust ini saya dapat bicara dengan mereka walaupun dalam pembicaraan bukan selalu ‘oke Retno, saya setuju’. Tidak, sering kita berdebat tapi kita tahu at least posisi kita ada di mana, sejauh mana perbedaan posisi kita bagaimana kita mengambil langkah maju dan sebagainya, dan di situlah hubungan pribadi sangat-sangat membantu di dalam kita menyelesaikan masalah-masalah dunia yang rumit.
Satu bulan lagi menjelang KTT, hingga saat ini sudah ada berapa kepala negara yang konfirmasi akan hadir? Apakah mereka akan datang secara langsung atau virtual?
Sejauh ini tidak ada kepala negara yang mengirimkan pesan negatif, konfirmasi negatif untuk tidak hadir, tidak ada. Nah, sebagaimana pertemuan-pertemuan besar lainnya, kalau mau tahu confirm yang sangat confirm, ya pada hari H-nya. Tetapi di titik ini, karena tidak ada yang negatif responsnya, saya cukup optimis bahwa mereka akan hadir dalam KTT G20 nanti.
Yang menjadi perhatian banyak masyarakat, karena memang ini sesuatu yang tidak terelakkan, terkait krisis Ukraina dan Rusia. Apakah Rusia sejauh ini sudah ada tanda-tanda positif untuk datang?
Yang dapat saya sampaikan adalah duta besarnya terus melakukan persiapan. Persiapan di lapangan, jadi itu yang dapat saya sampaikan. Jadi kalau persiapan dilakukan 'kan berarti tahu sendiri jawabannya, ya. Tapi sekali lagi yang ingin saya sampaikan begini, situasi 'kan sedang sangat luar biasa, bukan dalam situasi normal, jadi itu yang harus kita pahami, sementara persiapan jalan terus.
Banyak media-media asing menulis bahwa KTT G20 di Bali nanti semua negara memiliki posisi masing-masing terkait isu tersebut. Seberapa tough Indonesia dari Desember 2021 untuk tetap fokus terhadap tema yang dibawa? Karena isu keamanan juga pasti masuk pembicaraan.
Dapat saya pastikan, jadi kita akan bicarakan (keamanan). Memang G20 sebenarnya bukan untuk forum perdebatan politik, ini adalah forum keuangan, forum ekonomi, forum pembangunan, tetapi sekali lagi antara geopolitik dan ekonomi kan tidak mungkin dibangun tembok baja yang tidak akan tembus, pasti bleber.
Nah, sekarang tinggal bagaimana kita mengelola agar suasana geopolitik ini tidak merusak seluruh bangunan yang ingin kita bangun selama presidensi Indonesia dengan prioritas-prioritas yang tadi kita sudah bahas. Bahwasanya di sana akan ada debat mengenai geopoitik, again this is something inevitable, 'kan kita tidak mungkin begitu ada leader yang akan bicara geopolitik lalu kita bilang 'stop', tidak boleh ngomong geopolitik, tidak mungkin 'kan. Jadi oke, bicaralah, tetapi sekali lagi kita harus fokus tunjukkan tanggung jawab sebagai pemimpin negara-negara besar.
G20 ini 'kan kumpulan negara-negara besar. Kalau kita mau dikatakan kita ini negara besar, berarti tanggung jawab kita adalah besar juga. Bukan hanya untuk kita, tapi untuk dunia. Jadi yang kita inginkan, mari kita tunjukkan bahwa kita negara besar dan mari kita tunaikan tanggung jawab kita.
Beberapa bulan lalu Presiden Joko Widodo pergi ke Kiev, ke Moskow, menimbulkan harapan atau angan-angan positif. Apakah Indonesia melalui presidensi G20 bisa mendorong krisis ini peace-making?
Kalau G20 dijadikan alat peace-making, sih tidak ya. Sekali lagi, G20 adalah forum ekonomi. Tetapi saya kira pada saat Presiden ke Kiev dan ke Moskow, pesannya sangat jelas.
Dan mempersiapkan kunjungan seperti itu sangat tidak mudah. Kemudian, keputusan untuk melakukan kunjungan juga tidak mudah tetapi toh kita lakukan. Karena ada dua hal yang ingin kita sampaikan secara langsung. Pakai telepon sih bisa, tetapi bahwasanya kenapa Presiden memutuskan untuk langsung bertemu itu sudah menunjukkan tekad dan komitmen Indonesia.
Dua hal, satu kita sampaikan pesan perdamaian. Presiden diskusi dengan Presiden Putin dan Presiden Zelenskyy mengenai masalah perdamaian dan kita tahu Presiden mengatakan pada saat diskusi, kami paham di titik itu masih sulit untuk cari titik temu.
Tapi Presiden tidak berhenti untuk menyampaikan pesan dan spirit perdamaian, karena kita sampaikan kita yakin hanya dengan negosiasi semua dapat diselesaikan secara sustainable, secara win-win. Kata sustainable itu 'kan bisa selesai win-win, bisa selesai zero-sum, yang satunya menang, yang satunya hancur. Pertanyaannya, apakah kita mau zero-sum? 'Kan bukan itu yang kita inginkan.
Kedua, mengenai masalah kemanusiaan, masalah energi, masalah bantuan kemanusiaan. Bapak Presiden juga bawakan bantuan kemanusiaan. Kita memberikan bantuan untuk rumah-rumah sakit di sana, so that is all about kemanusiaan karena perdamaian itu sendiri juga merupakan salah satu yang sangat penting bagi kemanusiaan. Saya ingin ingatkan saja bahwa masalah kemanusiaan adalah core dari semua yang kita lakukan.
Baca juga: Menlu Retno resmikan gedung KJRI Johor Bahru
Baca juga: Menlu: Pariwisata dan ekonomi digital pilar pemulihan pasca pandemi
Baca juga: Indonesia akan dorong penguatan kerja sama kesehatan ASEAN pada 2023
Pewarta: Aria Cindyara
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2022