Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan dalam memberi nilai tambah kepada sektor minyak untuk mendorong Produk Domestik Bruto (PDB). "Saat ini dari sisi refinary saja kita masih 1 juta barel per hari kalah dari Singapura 1,3 juta per hari," kata Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Rauf Purnama, di Jakarta, Selasa. Padahal, kata Rauf, saat membuka diskusi RUU Penataan Ruang, Indonesia merupakan produsen minyak ketimbang Singapura, namun dari sisi infrastruktur masih kalah. Saat ini dari jumlah 1 juta barel per hari tersebut, sebanyak 600.000 barel berasal dari kilang yang dimiliki, serta 400.000 di antaranya diekspor berupa minyak mentah, ucap Rauf. Ironisnya, kata Rauf, solar sebanyak 10 juta kiloliter masih harus impor karena Indonesia belum mampu, padahal potensinya sangat besar. Kalau melihat dari penjualan kilang untuk minyak mentah di Indonesia hanya mampu menghasilkan 700 juta dolar AS. Padahal produk sampingannya seperti naptha untuk industri aromatik dan tekstil bisa 3.000 dolar AS per ton atau hampir tujuh kali lipat. Begitu juga produk benzene jika diolah bisa menghasilkan 1.100B - 2.000 dolar AS. Kemudian bahan untuk polyester yang jika belum diolah hanya 200 dolar AS, tetapi jika diolah menjadi polyester bisa menghasilkan 1.200 dolar AS, padahal ekspornya saat ini 56 juta ton dengan demikian dapat dihitung potensi kehilangannya. Menurutnya, SDM yang dimiliki PII mempunyai kemampuan memberikan nilai tambah terhadap sektor migas untuk melengkapi infrastruktur pengolahan yang saat ini ada 3 refinary, 2 aromatik, dan 2 olivine. Begitu juga dengan tembaga yang jika diekspor begitu saja hanya 500 dolar AS, tetapi jika diolah bisa 3.000 dolar AS ditambah produk sampingan seperti emas, perak, asam sulfat dan slag. Penghasilan tambahan ini dapat mengejar ketinggalan PDB yang hanya 1.000 dolar AS, sementara dibanding negara tetangga Malaysia jauh tertinggal yang mampu mencapai 9.000 dolar AS, jelasnya. (*)

Copyright © ANTARA 2006