Identitas dan jati diri bagi individu, terlebih sebuah komunitas, penting serta bernilai strategis
Mataram (ANTARA) - Pada tanggal 14 November mendatang, Kota Tangerang Selatan memasuki usia ke-14. Suatu usia yang sangat muda, bahkan untuk ukuran manusia.
Apalagi bila dibandingkan dengan usia sebuah kota, seperti tetangga dekatnya, Jakarta, yang sudah 495 tahun atau Kota Bogor yang berada tidak jauh di selatan, usianya bahkan sudah 538 tahun.
Sebagai kota yang relatif masih baru terbentuk, secara usia mungkin lebih pantas dibandingkan dengan kota-kota tetangga yang tahun berdirinya tidak terpaut jauh, seperti Kota Tangerang yang baru berusia 29 tahun dan Kota Depok yang berumur 23 tahun.
Kota Tangerang Selatan terbentuk sebagai dampak dari perkembangan Kota Jakarta yang sedemikian pesatnya sehingga mengundang banyak orang untuk datang ke Ibu Kota ini.
Karena tidak sepenuhnya tertampung di metropolitan itu maka menimbulkan permukiman-permukiman di daerah pinggiran yang makin lama kian marak. Oleh karena itu, logis saja apabila saat ini sebagian besar penduduk kota ini bekerja atau menggantungkan hidupnya di Jakarta.
Pesatnya perkembangan daerah Tangerang Selatan tersebut tidak sepenuhnya bisa diadministrasikan oleh Kabupaten Tangerang yang memiliki daerah cukup luas dengan kompleksitas masalahnya sendiri sehingga mendorong pemekaran daerah tersebut pada tahun 2008 hingga menjadi daerah otonom Kota Tangerang Selatan atau cukup disingkat Tangsel saja.
Dipelopori oleh pengembang-pengembang besar hingga kecil, Kota Tangsel pun dikenal sebagai kota permukiman, dari mulai pemukiman real estate mewah hingga permukiman lokal sederhana. Kurang lebih 70 persen dari luas wilayah kota ini memang didominasi oleh perumahan dan permukiman yang terus bertambah. Terkait masalah lahan ini konon sebagian besar lahan di Tangsel juga sudah dikuasai developer.
Dengan kondisi demikian jelaslah bahwa Kota Tangerang Selatan berfungsi sebagai sebuah kota penyangga yang berada dalam pengaruh kota metropolitan Jakarta. Jadi, apa pun yang terjadi di Jakarta akan ikut mewarnai situasi dan kondisi di Tangsel.
Aspek lokalitas
Di sisi lain, Tangerang Selatan sebagai kota juga mungkin tidak memiliki independensi dalam memunculkan warnanya sendiri karena masalah lahan tadi.
Suka tidak suka citra Tangerang Selatan tidak lebih dominan dibanding perumahan-perumahan yg ada di dalamnya. Terutama kompleks perumahan terkenal dari developer besar. Kenapa ini penting, karena aspek lokalitas atau tempat tinggal ini bagaimanapun adalah salah satu bagian dari identitas.
Sebagai orang yang tinggal di wilayah Tangsel, bahkan sebelum kota ini menjadi wilayah kota tersendiri, orang Tangerang Selatan jarang yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang Tangsel.
Sepertinya tidak ada keunikan tersendiri yang bisa menjadi penanda atau identitas budaya kota ini. Walaupun lambang Kota Tangerang Selatan sudah memproyeksikan ciri budaya Betawi Ora dengan menampilkan rumah blandongan yang merupakan rumah adat Betawi Ora. Namun identitas budaya Betawi Ora sendiri secara umum tidak banyak diketahui oleh masyarakat Tangsel yang sebenarnya sangat multikultural sebagaimana layaknya masyarakat urban.
Sebenarnya apa sih identitas itu? Menurut KBBI, identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang ; jati diri. Identitas menunjukan adanya suatu kekhasan pada sesuatu atau seseorang dengan tanda-tanda yang dapat dilihat yang membuat ia dapat dibedakan dengan yang lain. Identitas adalah pembeda.
Jika mengulik identitas orang Tangsel maka sejatinya membicarakan identitas budaya/kultur yang mengemuka atau paling menonjol yang bisa membedakan Tangsel dengan daerah lainnya atau identitas sosial masyarakat yang khas terkait lokalitas daerah Tangsel itu sendiri.
Secara antropologis, masyarakat yang ada di wilayah Tangsel, identitas diri dan kelompoknya mungkin akan lebih mengacu pada latar belakang kultural masing-masing terutama apabila pengaruh etnik yang masih dipelihara kuat.
Dalam konteks Tangsel ini bukan hanya berlaku bagi masyarakat pendatang yang makin beragam, namun juga bagi masyarakat lokal yang secara turun temurun sudah lama tinggal di wilayah ini, baik di wilayah yang secara historis dominan mengidentifikasikan pada etnis Sunda Banten maupun yang dominan mengidentifikasikan pada etnis Betawi Ora.
Bagian masyarakat yang lain, terlepas pendatang maupun lokal, barangkali pengaruh etnis sudah nyaris hilang sehingga melihat dirinya menjadi bagian dari identitas nasional atau superkultur Indonesia. Hal ini biasanya dirasakan bagi yang sudah mengalami perkawinan campur, yang nyaris tidak ada identitas etnis yang bisa dianggap dominan lagi.
Namun ada juga sebagian masyarakat yang bahkan lebih mengidentifikasikan pada karakter subkultur kelompok sosial tertentu, yang biasanya lebih mengacu pada tingkat sosial ekonomi yang bersangkutan.
Identitas sosial yang melekat di mana ia tinggal di Tangsel. Itu bisa wilayah permukiman kampung atau wilayah permukiman bikinan pengembang. Jadi, jangan heran kalau penduduk Tangsel umumnya akan menjawab lokasi permukiman atau daerah tempat tinggalnya bila ada pertanyaan terkait identitas siapa mereka, misalnya: “orang BSD”, “orang Alsut” (Alam Sutera), “orang Bintaro” bagi yang rumahnya di permukiman pengembang, atau "orang Ciputat", "orang Serpong', "orang Setu", dan seterusnya.
Lantas, apa urgensi dan pentingnya perkara identitas sosial-budaya ini menjadi perhatian? Identitas dan jati diri bagi individu, terlebih sebuah komunitas, penting serta bernilai strategis. Ia bermakna sebagai media integrasi komunitas, juga sebagai sarana memproyeksikan perjalanan komunitas ke arah yang lebih bagus, baik hari ini maupun hari depan. Identitas budaya melahirkan sense of belonging, sense of pride dan sense of obligation (Dienaputra).
Di zaman digital yang makin berkembang saat ini, yang diwarnai batas-batas kultural kian kabur, seluruh bagian masyarakat dengan mudah bisa saling terhubung, terutama di perkotaan seperti masyarakat kota Tangsel ini. Karena arus globalisasi, masyarakat seolah menjadi warga dunia dan masyarakat yang tidak memiliki identitas akan senantiasa tergagap ketika terpapar oleh pengaruh-pengaruh kebudayaan asing.
Bahkan konsep masyarakat yang berpusat pada manusia dan berbasis teknologi di era Society 5.0 pun sejatinya mengimplikasikan kejelasan pemahaman akan dirinya. Pada era ini, masyarakat sudah harus bisa menyelesaikan berbagai tantangan dan permasalahan sosial dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era revolusi industri 4.0 untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Bagaimana permasalahan sosial bisa teratasi dan bagaimana perangkat-perangkat teknologi bisa digunakan dengan baik ketika tidak memahami jati diri, kekhasan, ciri-ciri pembeda antara kelompok sosial yang satu dengan yang lainnya? Identitas itu justru kunci masuk dalam berkomunikasi dan berkolaborasi untuk membangun kekuatan bersama.
Masalah klasik perkotaan yang terkait pemanfaatan lahan dan pengelolaan sampah, misalnya, yang juga terjadi di Kota Tangerang Selatan, sebenarnya berdimensi sosial kultural juga. Abai dalam menyikapi ruang hidup masyarakat lokal tertentu yang makin terpinggirkan dalam pertumbuhan kota yang dikatalisasi para pengembang, bisa berdampak kontraproduktif karena sama saja mematikan identitas sosial kultural asli setempat. Sesuatu yang bersama kelompok sosial lain seharusnya menjadi sumber yang mewarnai upaya membentuk identitas sebagai Orang Tangsel.
Dalam lambang Kota Tangerang Selatan ada moto yang merupakan cita-cita dan harapan untuk mewujudkan masyarakat yang: Cerdas, Modern, Religius. Kiranya ini juga harus menjadi nilai-nilai yang tercermin dalam setiap derap langkah pembangunan Kota Tangsel. Penanaman nilai-nilai tersebut juga terutama pada generasi muda Tangsel di sekolah-sekolah sehingga secara tidak langsung membangun jati diri sebagai orang Tangsel.
Semoga dalam ulang tahunnya kali ini Pemerintah kota Tangsel tidak luput menggali sejarah dan peninggalan budaya materil maupun adat dan tradisi kebudayaan berbagai kelompok etnis yang ada, memformulasi dan memproyeksikannya sehingga tercermin dalam program pembangunan.
Tidak lupa pula menyosialisasikan kekayaan sejarah dan budaya tersebut terutama pada generasi muda sehingga dapat mewujudkan identitas kota yang bisa menjadi kebanggaan masyarakat sehingga penduduk Tangsel tidak lagi ragu menyebut dirinya: "Saya orang Tangsel".
Luthfi Rantaprasaja
Dosen & aktivis sosial lingkungan
Anggota Majelis Pertimbangan IKA Antropologi Universitas Padjadjaran (Unpad)
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022