Jakarta (ANTARA) - Gejala cuaca ekstrem berupa intensitas dan curah hujan tinggi menyebabkan banjir dan longsor di berbagai wilayah, seperti Aceh, Bali, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Gejala serupa juga terjadi di Pakistan dan Australia.

Pada musim panas tahun ini beberapa sungai di Eropa, Tiongkok, dan Amerika Serikat mengalami penyusutan air yang signifikan akibat peningkatan suhu udara.

Perubahan cuaca ekstrem yang senantiasa meningkat intensitasnya dari waktu ke waktu (skala waktu 20 tahun atau lebih) ini semakin menunjukkan gejala perubahan iklim.

Perubahan iklim memang sebagian merupakan proses alami dan sebagian lainnya disebabkan pengaruh tindakan manusia (anthropogenic).

Banjir misalnya, bisa lebih parah karena semakin berkurangnya kawasan resapan air yang disebabkan karena pembalakan hutan dan karena konversi lahan pertanian menjadi fungsi lain.

Hal yang dianggap sepele, seseorang dengan entengnya membuang sampah ke got sambil mengendarai motornya, juga nyatanya dapat memperparah banjir.

Terlepas dari apakah perubahan iklim disebabkan oleh proses alami atau tindakan manusia, namun tindakan manusia sangat menentukan perubahan iklim. Kemampuan manusia beradaptasi kemudian menjadi amat penting untuk mempertahankan kehidupan.

Salah satu yang paling urgen untuk diperhatikan yakni sektor pertanian yang merupakan sektor yang sangat rentan dan menjadi korban dari perubahan iklim. Tanpa aksi yang serius, gangguan terhadap pertanian dapat mengancam ketahanan pangan dan mata pencaharian petani.

Ada dua hal penting yang dapat dilakukan. Pertama, mitigasi, yaitu mengurangi emisi gas rumah kaca, misalnya melalui pengendalian pembalakan dan kebakaran hutan dan lahan, mengintensifkan penghijauan untuk memaksimalkan peresapan CO2 dari atmosfir ke dalam senyawa organik tanaman dan tanah.

Untuk sektor energi, mitigasi dilakukan dengan mengurangi penggunaan bahan bakar tidak terbarukan (seperti batu bara dan minyak bumi) dan menggantinya secara bertahap dengan energi baru dan terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan panas bumi.

Pengelolaan sampah yang lebih baik, misalnya pemanfaatan sampah menjadi bioenergy dapat mengurangi emisi metana (CH4).

Kedua, adalah adaptasi, yaitu memperbaiki cara pengelolaan lahan agar perubahan iklim tidak mengganggu pertanian dan ketahanan pangan.

Perlu diperhatikan keseimbangan antara daerah resapan dan areal bangunan, cukup dan berfungsinya saluran drainase.

Untuk sektor pertanian yang perlu dilakukan adalah, pengendalian konversi lahan pertanian dan intensifikasi pengelolaan pertanian yang ada secara ramah lingkungan (sustainable intensification).


Mitigasi-adaptasi

Dalam banyak hal mitigasi dan adaptasi bersinergi. Misalnya, dengan mengoptimalkan penggunaan pupuk organik pada lahan pertanian, tidak saja sebagian CO2 dari atmosfer berubah menjadi senyawa organik tanah, namun terjadi pula perbaikan kesuburan tanah.

Konversi lahan pertanian, terutama sawah, yang lajunya sekitar 100.000 hektare per tahun menjadi permukiman, perkotaan, dan infrastruktur merupakan hal yang mengkhawatirkan.

Pencetakan sawah baru tidak semudah diucapkan. Tidak saja sawah yang ada sekarang relatif baik dari sisi kesuburan tanah dan infrastrukturnya, lahan pengganti tidak cukup tersedia dan tidak didukung oleh sumber daya alam, terutama air, dan tenaga kerja yang memadai.

Pada berbagai sentra produksi padi, saluran irigasi menjadi terganggu karena terhambat oleh bangunan.

Bila ini berlanjut, swasembada beras yang menjadi indikator utama ketahanan pangan Indonesia akan terancam, dan ketergantungan terhadap pangan impor akan meningkat.

Intensifikasi pertanian secara ramah lingkungan diperlukan untuk meningkatkan produktivitas.

Studi menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas aktual padi pada sawah irigasi sekitar 6 ton per hektare atau 63 persen dari produktivitas potensial. Pada sawah tadah hujan produktivitas aktual hanya 4,8 ton per hektare atau 52 persen dari produktivitas potensial.

Produktivitas aktual berpotensi ditingkatkan menjadi 80 persen dari produktivitas potensial. Bila ini tercapai akan ada peningkatan produksi nasional sebanyak 24 juta ton gabah pada lahan sawah yang ada sekarang.

Produktivitas tidak perlu ditingkatkan melampaui 80 persen dibandingkan produktivitas potensial, karena dapat menyebabkan pemborosan input berupa pupuk dan pestisida yang residunya dapat mengancam kualitas lingkungan, sehingga tidak sustainable.

Di berbagai daerah penambahan hara ke dalam tanah, terutama hara kalium masih rendah dibandingkan yang diperlukan tanaman.
Kelihatannya ke depan diperlukan peningkatan subsidi pupuk kalium.

Selain itu, daur ulang bahan organik perlu dioptimalkan karena berpengaruh baik terhadap kimia, fisika dan aktivitas biologi tanah. Petani perlu diberdayakan dalam mengolah dan menggunakan bahan organik lokal.

Perlu juga dijajaki kemungkinan pemanfaatan bahan alami lokal sebagai suplemen, misalnya dalam bentuk batu giling (stonemeal).

Stonemeal yang dianjurkan adalah dari batu vulkanik karena umumnya mengandung unsur Kalsium, Magnesium, Kalium, dan Posfor, serta beberapa unsur mikro esensial seperti seng, boron, tembaga, besi, dan mangan.

Biochar, berupa bahan organik yang diproses melalui pembakaran tidak sempurna (pyrolysis), juga perlu dipertimbangkan karena selain dapat mempertahankan karbon di dalam tanah, adakalanya dapat memperbaiki kesuburan tanah.

Apapun bahan yang digunakan perlu mempertimbangkan biaya produksi, dan kemungkinan pemberian subsidi agar terjangkau oleh petani.

Perlu pula ada jaminan bahwa bibit tanaman, pupuk dan obat-obatan yang sampai kepada petani adalah yang sesuai standar, dan harus hadir di lapangan pada waktu dan jumlah yang diperlukan.

Dengan demikian diharapkan sektor pertanian yang rentan tidak menjadi korban, sehingga ketahanan pangan dapat dipertahankan di bawah ancaman perubahan iklim.


*) Fahmuddin Agus adalah Peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Copyright © ANTARA 2022