Skotlandia (ANTARA News) - Mantan jaksa dan advokat kondang Dr Adnan Buyung Nasution (72) mengatakan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar. "Bahkan mantan Presiden Soeharto menilai korupsi sebagai `Service of development` (pelicin pembangunan)," katanya dalam ceramah di QMR Student Village, University of Glasgow, Skotlandia, pekan lalu. Menurut Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Skotlandia, Sukiman Nurdin, kepada ANTARA, Senin, kehadiran Adnan Buyung Nasution di Eropa sebenarnya adalah untuk liburan dan acara keluarga menenggok anaknya yang tengah belajar hukum di Strathclyde University, Glasgow, Skotlandia. Adnan Buyung Nasution mengatakan korupsi telah mengakar selama 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru, dimana pada masa itu korupsi dilakukan oleh orang yang terpandang di masyarakat. Diskusi itu dihadiri sekitar 45 pelajar Indonesia yang tengah menuntut ilmu di Skotlandia, yaitu di Glasgow, Abardeen, St Andrews, Dundee dan juga Manchester. Topik yang dibahas antara lain proses reformasi hukum di Indonesia. Adnan Buyung yang meraih Doktor di Rijksuniversiteit Utrecht Belanda tahun 1992 juga membahas masalah yang saat ini cukup hangat di tanah air seperti masalah Irian Jaya dengan Freeport, UU APP serta proses reformasi hukum. Lebih lanjut ayah empat putra yang membentuk Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang kemudian menjadi YLBHI dan dikenal sebagai lokomotif demokrasi itu mengatakan bahwa pada masa itu bila ada pejabat yang tidak korupsi malah dianggap bodoh. Dikatakannya ada tiga pilar utama untuk mengatasi korupsi yaitu polisi, jaksa dan pengadilan, namun di Indonesia tiga pilar utama itu justru tidak mempunyai garis koordinasi dan bahkan tidak sejalan. "Di mana-mana di negara maju biasanya polisi di bawah kejaksanaan dan kejaksanaan dan pengadilan punya garis komando yang jelas ini salah satu sebab beratnya memberantas korupsi di Indonesia," tegas putra wartawan kawakan dan juga pendiri Kantor Berita LKBN Antara itu. Adnan Buyung Nasution menilai sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan, dimana pemerintahan Presiden Soekarno mengeluarkan semboyan "Go to hell Western" dan produk-produk hukum Belanda yang ada waktu itu juga diganti seperti kedudukan polisi, jaksa dan pengadilan dipisah dan tidak punya hubungan hirarki sama sekali. Sebelumnya polisi diawasi kejaksaan, ujarnya. Dimulai dari Kepolisian Secara rinci Adnan Buyung mengatakan untuk memberantas korupsi bisa dilakukan melalui satu institusi dulu atau bersamaan, misalnya bisa dimulai dari Kepolisian seperti yang dilakukan di Hongkong, setelah kepolisian baru berlanjut ke Kejaksanaan dan Pengadilan. Kalau polisinya masih korupsi, katanya, korupsi akan susah diberantas karena polisi merupakan ujung tombak dari proses pengadilan seperti sebuah sapu, polisi itu ibarat ijuknya dan kepolisian serta pengadilan batang sapunya. "Jadi biar batangnya kuat tetapi ijuknya berantakan tidak akan bersih," tegasnya. Intinya, lanjut Adnan Buyung, upaya pemberantasan korupsi itu harus dilakukan secara simultan tidak hanya sistemnya yang dibenahi tetapi juga orang-orang yang memegang posisi di pemerintahan juga harus profesional, baik secara skill maupun etika. Ketika salah seorang peserta bertanya tentang peranan advokat dalam memberantas korupsi, Adnan Buyung mengakui bahwa sangat disayangkan bahwa sampai saat ini "jual beli" putusan antar pembela dan pengadilan masih terjadi. Ketika ada pangacara yang tertangkap tangan seperti dalam kasus pangacara Abdullah Puteh, mantan Gubernur Aceh dan Pengusaha terkemuka Probusetjo, Adnan menyayangkan bahwa sampai saat ini kedua pengacara tersebut belum dicabut izinnya sebagai pangacara. "Seharusnya ikatan advokat sebagai induk organisasi advokat mencabut izin pangacara tersebut," ujar Adnan Buyung Nasution. (*)
Copyright © ANTARA 2006