Makassar (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej memaparkan tiga alasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mendesak untuk segera disahkan.
"Saya ingin mengatakan mengapa suatu hal yang urgent (mendesak) untuk kita harus mempunyai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru. Ada tiga (alasan)," ujar Eddy, sapaan akrab Edward Omar Sharif Hiariej saat menyampaikan pidato kunci dalam kegiatan "Kumham Goes to Campus" di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu.
Alasan pertama, ujar dia, KUHP yang digunakan dalam penegakan hukum di Tanah Air saat ini sudah disusun pada tahun 1800 atau telah berusia sekitar 222 tahun, sehingga aliran hukum pidana yang dianut adalah aliran klasik.
Padahal, aliran pidana klasik lebih menitikberatkan pada kepentingan individu sehingga diperlukan KUHP yang baru melalui pengesahan RKUHP untuk menggantikan aliran tersebut.
"Yang kedua, yang harus saya katakan juga, KUHP yang ada ini sudah out of date, tidak lagi up to date. Oleh karena itu, kita harus menyusun yang baru dengan berorientasi pada hukum pidana modern," ujar Eddy.
Lebih lanjut, ia menyampaikan hukum pidana modern merupakan aliran hukum yang berorientasi pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.
Baca juga: Melepaskan nuansa kolonial dalam melahirkan KUHP baru
Baca juga: Wamenkumham: Dialog publik RKUHP jadi bahan masukan ke DPR
Kemudian, alasan yang ketiga adalah KUHP yang digunakan saat ini oleh para penegak hukum, baik polisi, jaksa, maupun hakim tidak menjamin kepastian hukum. Adapun penyebab KUHP yang digunakan saat ini tidak dapat menjamin kepastian hukum adalah keberadaan banyak ahli yang menerjemahkan nya dengan hasil terjemahan yang berbeda-beda.
"Ada Prof. Moeljatno dari UGM, ada juga yang diterjemahkan oleh Prof. Andi Hamzah, beliau dari Unhas. Ada juga yang ditulis oleh R. Soesilo. Kalau Prof. Andi Hamzah menulis itu bersama kakaknya, yaitu Prof. Zainal Farid. Celakanya, antara satu KUHP dengan KUHP yang lain itu ada perbedaan terjemahan," ucap Eddy.
Ia mencontohkan perbedaan terjemahan KUHP dari para ahli hukum itu adalah terkait dengan Pasal 362 KUHP. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa seseorang yang mengambil barang ataupun sesuatu seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.
Baca juga: Kemenkumham sosialisasikan RKUHP pada mahasiswa USU
"Dalam pasal itu, Prof. Moeljanto menerjemahkan sebagai tindakan melawan hukum, tapi R. Soesilo menerjemahkan nya sebagai melawan hak. Dua hal itu serupa, tapi tidak sama. Melawan hak pasti melawan hukum, tapi melawan hukum belum tentu melawan hak," jelas Eddy.
Oleh karena itu, menurut dia, RKUHP mendesak untuk segera disahkan guna mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022